Rabu, 10 Agustus 2011

sejarah internet dunia

Internet atau kepanjangannya dari Interconnected Network adalah sebuah sistem komunikasi global yang menghubungkan komputer-komputer dan jaringan-jaringan komputer di seluruh dunia, dimana di dalamnya terdapat berbagai sumber daya informasi dari mulai yang statis hingga yang dinamis dan interaktif.

Sejarah kemunculan dan perkembangan Internet dimulai pada :
Tahun 1962

Departemen Pertahanan Amerika, U.S. Defense Advanced Research Projects Agency(DARPA) memutuskan untuk mengadakan riset tentang bagaimana caranya menghubungkan sejumlah komputer sehingga membentuk jaringan organik. Program riset ini dikenal dengan nama ARPANET, yang tak lain untuk menghindari pemusatan informasi di satu titik yang dipandang rawan untuk dihancurkan apabila terjadi peperangan. Dengan cara ini diharapkan apabila satu bagian dari jaringan terputus, maka jalur yang melalui jaringan tersebut dapat secara otomatis dipindahkan ke saluran lainnya.

Tahun 1970

Sudah lebih dari 10 komputer yang berhasil dihubungkan satu sama lain sehingga mereka bisa saling berkomunikasi dan membentuk sebuah jaringan.

Tahun 1972

Roy Tomlinson berhasil menyempurnakan program e-mail yang ia ciptakan setahun yang lalu untuk ARPANET. Program e-mail ini begitu mudah sehingga langsung menjadi populer. Pada tahun yang sama, icon @juga diperkenalkan sebagai lambing penting yang menunjukkan “at” atau “pada”.

Tahun 1973

Jaringan komputer ARPANET mulai dikembangkan ke luar Amerika Serikat. Komputer University College di London merupakan komputer pertama yang ada di luar Amerika yang menjadi anggota jaringan Arpanet. Pada tahun yang sama, dua orang ahli komputer yakni Vinton Cerf dan Bob Kahn mempresentasikan sebuah gagasan yang lebih besar, yang menjadi cikal bakal pemikiran internet. Ide ini dipresentasikan untuk pertama kalinya di Universitas Sussex.

Tahun 1976

Tepatnya tanggal 26 Maret 1976, merupakan hari bersejarah, ketika Ratu Inggris berhasil mengirimkan e-mail dari Royal Signals and Radar Establishment di Malvern. Setahun kemudian, sudah lebih dari 100 komputer yang bergabung di ARPANET membentuk sebuah jaringan atau network.

Tahun 1979

Tom Truscott, Jim Ellis dan Steve Bellovin, menciptakan newsgroups pertama yang diberi nama USENET.

Tahun 1981

France Telecom menciptakan gebrakan dengan meluncurkan telpon televisi pertama, dimana orang bisa saling menelpon sambil berhubungan dengan video link.

Tahun 1982

Karena komputer yang membentuk jaringan semakin hari semakin banyak, maka dibutuhkan sebuah protokol resmi yang diakui oleh semua jaringan. Pada tahun ini dibentuk Transmission Control Protocol atau TCP dan Internet Protokol atau IP yang kita kenal semua. Sementara itu di Eropa muncul jaringan komputer tandingan yang dikenal dengan Eunet, yang menyediakan jasa jaringan komputer di negara-negara Belanda, Inggris, Denmark dan Swedia. Jaringan Eunet menyediakan jasa e-mail dan newsgroup USENET.

Tahun 1984

Untuk menyeragamkan alamat di jaringan komputer yang ada, maka di tahun ini diperkenalkan sistem nama domain, yang kini kita kenal dengan DNS atau Domain Name System. Komputer yang tersambung dengan jaringan yang ada sudah melebihi 1000 komputer lebih. Pada 1987 jumlah komputer yang tersambung ke jaringan melonjak 10 kali lipat manjadi 10.000 lebih.

Tahun 1988

Jarko Oikarinen dari Finland menemukan dan sekaligus memperkenalkan IRC atau Internet Relay Chat. Setahun kemudian, jumlah komputer yang saling berhubungan kembali melonjak 10 kali lipat dalam setahun. Tak kurang dari 100.000 komputer kini membentuk sebuah jaringan.

Tahun 1990

Merupakan tahun yang paling bersejarah, ketika Tim Berners Lee menemukan program editor dan browser yang bisa menjelajah antara satu komputer dengan komputer yang lainnya, yang membentuk jaringan itu. Program inilah yang disebut www, atau Worl Wide Web.

Tahun 1992

Komputer yang saling tersambung membentuk jaringan sudah melampaui sejuta komputer, dan di tahun yang sama muncul istilah surfing the internet.

Tahun 1994

Situs internet telah tumbuh menjadi 3000 alamat halaman, dan untuk pertama kalinya virtual-shopping atau e-retail muncul di internet. Dunia langsung berubah. Di tahun yang sama Yahoo! didirikan, yang juga sekaligus kelahiran Netscape Navigator 1.0.

Sedangkan Sejarah Internet sendiri di Indonesia bermula pada awal tahun 1990-an, saat itu jaringan internet di Indonesia lebih dikenal sebagai paguyuban network, dimana semangat kerjasama, kekeluargaan & gotong royong sangat hangat dan terasa diantara para pelakunya. Agak berbeda dengan suasana Internet Indonesia pada perkembangannya yang terasa lebih komersial dan individual di sebagian aktifitasnya terutama yang melibatkan perdagangan Internet. Dan baru bisa menikmati layanan Internet komersial pada sekitar tahun 1994.

Rabu, 01 Juni 2011

PUNCAK EVEREST

Annisa Rahmayanti

Panggil aku di saat kau sedang merasa sendiri. Carilah aku di saat kau membutuhkan teman untuk berbagi cerita. Salahkan saja aku bila kau melakukan hal yang salah karena aku pantas untuk itu. Aku yang sendiri dalam ilusiku. Mengejar sebuah harapan yang tersisa. Namun ternyata tanpamu, aku tak mampu melangkah untuk mendapatkannya.
Aku Clay, gadis 15 tahun yang selalu didera kesepian. Hidupku sendiri, terasa sepi dan tak berarti. Setiap malam aku selalu berkhayal. Membayangkan bagaimana wajah mamaku dan di mana dia berada. Sejak aku kecil, aku belum pernah mengetehui siapa mamaku. Masih hidupkah dia? Aku terlanjur terlarut dalam kebingungan.
Setiap hari aku tak pernah tidur lebih dari 3 jam. Aku selalu menangis bila memikirkan Mama. Aku berjanji akan mencari dia sampai ketemu. Sekali pun dia bersembunyi di puncak Everest. Puncak dari segala puncak. Puncak kegelisahan, puncak kesedihan, puncak kedamaian, puncak kebahagiaan dan puncak kemarahanku.
Malamku tak pernah sepi dari teman –teman Kak Jane. Kakakku yang selama ini mengurusku. Kak Jane dan teman – temannya
1
selalu begadang di kontrakan kami. Mereka selalu mendengarkan lagu dugem sambil merokok dan meminum beberapa minuman keras. Kak Jane tak
pernah memikirkan apa yang aku pikirkan. Setiap aku menanyakan Mama, dia selalu bilang “Nggak usah mikirin Mama. Dia sudah mati!” sambil membentakku.
Aku selalu mencoba bersabar setiap kali ada orang atau para tetanggaku yang menghinaku sebagai anak buangan, anak bodoh, pencuri kecil, autis bahkan anak haram sekalipun. Buatku hinaan mereka tak lebih dari lolongan anjing yang kelaparan.
Sampai sekarang aku tak punya seorang sahabat pun, aku tak tahu bagaimana rasanya bertukar pikiran dengan orang lain. Tak ada seorang pun yang bisa memahamiku. Tak ada seorang pun yang paham bagaimana sifatku, selain diriku sendiri.
Sore itu aku pulang dari sekolah, Aku bertemu dengan seorang gadis berkulit putih dan berambut panjang yang mengenakan gaun bermotif bunga – bunga dengan sepatu flat hitam dan tas kain biru laut yang barangkali sedang menunggu bus di halte dekat kontrakanku. Dia melihat ada pensil jatuh dari tasku. Dengan senyum manisnya, dia memanggilku.
2
“Hei, pensilmu jatuh. Ini.” Sambil menyodorkan pensilku yang jatuh tadi.
“Oh, terima kasih. Namamu siapa?” tanyaku.
“Sera Ativva. Kamu siapa?”
“Clay.” Jawabku singkat.
Dari pertemuan yang tak pernah terduga terduga itu, kami akhirnya berteman. Sera juga berusia 15 tahun, sama sepertiku. Kami bertukar cerita, berbagi suka dan menangis bersama. Dia periang, juga perasa. Rumahnya sekitar 5 kilo meter dari kontrakanku. Dia anak semata wayang dan hanya tinggal dengan Ibu dan sepupunya. Ayahnya telah meninggal karena kecelakaan pesawat dan itu membat Sera takut bila harus pergi naik pesawat. Dia suka mengeluh kepadaku karena merasa hidupnya dipenuhi kesedihan, sama sepertiku. Mungkin karena banyak kesamaan, kami merasa nyaman bila sedang menghabiskan waktu bersama. Satu hal yang pasti, menemukan sahabat itu bagaikan terbang ke bulan.
***
“Clay, bagaimana kalau suatu hari nanti aku kehilangan kamu?” tanyanya pada suatu sore saat kami sedang bersantai di kamarku.
3
“Kamu kenapa, Ra? Kok tanya gitu sih? Mukaku udah kayak tanah kuburan ya?” jawabku sambil bercanda.
“Aku cuma nggak mau jauh dari kamu. Aku cuma takut kehilangan kamu.” Dia menatapku, matanya berkaca – kaca.
“Tenang saja, aku tak pernah punya niat untuk sebentar saja meninggalkanmu. Kamu harus tahu itu..” Aku memeluk Sera. Dia menangis di pundakku. Aku mencoba menghiburnya walaupun aku tak tahu pasti hal apa yang membuatnya menangis.
Kejadian itu seolah mengubah Sera menjadi pendiam. Jarang sekali Sera tertawa seperti saat – saat pertama aku mengenalnya. Suatu malam berbulan purnama, aku menginap di rumah Sera karena Kak Jane akan mengadakan pesta dugem di kontrakanku. Di kamar dengan nuansa pink itu, suasana yang dingin menambah heningnya malam. Sera menyetel lagu – lagu jazz untuk menenangkan hatinya. Tak ada obrolan yang berarti sebelumnya. Akhirnya aku angkat bicara.
“Ra, akhir – akhir ini aku melihatmu selalu bersedih. Di mana senyummu yang dulu kau bagikan pada semua orang? Apa ada masalah?”
Dia hanya menggeleng dan mengalihkan pandangannya ke luar
4
jendela. Memandang ke arah langit yang dihiasi oleh bulan yang bersinar penuh.
“Clay..” kata Sera beberapa menit setelah mendengar kata – kataku sambil tetap memandang ke arah langit.
“Kenapa?”
“Maaf kalau selama ini aku sudah menyusahkanmu” katanya. Aku hanya mengangguk karena bosan mendengar kata maaf darinya. Sera selalu meminta maaf tentang banyak hal kepadaku tetapi aku tak merasa dia pernah bersalah kepadaku.
***
Bulan Mei, Kak Jane pergi ke luar kota. Dia membiarkan aku sendirian di kontrakan karena memang ada urusan pekerjaan. Selama dia pergi, Sera juga menghilang, entah ke mana. Aku mencoba menghubunginya, tetapi tak ada jawaban. Seminggu telah berlalu. Perasaanku galau, gundah gulana. Akhirnya aku menelpon Kak Jane karena aku kangen dia.
“Kak, kapan pulang?” tanyaku.
“Ah, kamu ngapain si telpon aku? Nanti juga pulang sendiri
5
kok. Udah sana belajar. Janggan ganggu.” Nadanya ketus.
“Aku cuma kangen sama Kakak.” Kak Jane terdiam lalu dia berkata.
“Aku juga kangen kamu.” Telponnya terputus. Aku senang mendengar kata yang jarang diucapkan Kak Jane. Walaupun setelah itu dia mematikan telponnya. Hari yang sepi aku lalui dengan apa adanya. Ada perasaan tidak enak yang mengganjal di relung hatiku.
Jumat kelabu. Masih jelas di pikiranku saat hawa dingin menusuk kalbu. Saat kristal bening menetes di pipi, saat suasana hening dan saat tubuh membeku. Sore itu, semua orang mengerumuni tubuh kecil tak bernyawa. Jeritan menjadi nada duka ketika darah mengalir deras. Aku terdiam tak mampu bergerak. Tanganku gemetar dan kakiku tak mampu melangkah. Sera tergeletak tak bernyawa di dekat halte depan kontrakanku. Dia tertabrak bus saat hendak menyeberang jalan. Aku tak kuasa menerima kenyataan ini. Aku tak mampu berkata – kata. Apalagi saat mendengar kabar bahwa Kak Jane kecelakaan. Mobilnya menabrak pohon karena dia menyetir sambil mabuk. Aku segera ke rumah sakit. Batinku terguncang, langkahku tertatih, nafasku terhela dengan sangat terpaksa. Rasanya seperti luka yang diberi garam. Sakit sekali.
6
“Tuhan, kuatkan aku. Lindungi kakakku.” Doaku dalam hati.
Di ICU, aku menemukan Kak Jane tak bergerak. Namun dia masih sadarkan diri. Aku mendekatinya, menatapnya penuh harapan. Kutahan sekuat hatiku agar tak menangis di depan Kak Jane. Aku malu bila dicap sebagai anak cengeng.
“Kak, jangan tinggalkan aku sendiri.” Kataku. Kak Jane menatapku. Membelai rambutku dengan kekuatannya yang masih tersisa.
“Dengarkan aku, Clay. Mama yang selama ini kau cari dan kau rindukan adalah aku. Aku sayang, aku mamamu.” Kata Kak Jane sambil terbata – bata. Seketika hening. Aku tak percaya. Lalu dia meneruskan kata – katanya.
“Carilah nenekmu. Dia bernama Carla dan katakan padanya bahwa kau adalah anakku.” Sambil memberiku secarik kertas bertulis alamat. “Maafkan aku sayang. Aku tak mampu membahagiakanmu. Ayahmu bernama Clay. Namun aku tak tahu di mana dia berada.” Semua yang kudengar sangat jauh di luar pikiranku. Hatiku seketika hancur mendengar semuanya. Aku tak percaya. Rasanya salju di puncak Everestku meleleh. Membanjiri hati yang sudah lama mati.
7
“Mama?” kataku lirih.
Perempuan berambut pirang yang selama ini aku panggil Kak Jane, yang hobinya dugem dan mabuk – mabukan adalah mamaku yang selama ini aku nantikan kehadirannya. Ternyata aku tak usah pergi jauh sampai ke Puncak Everest. Sungguh, jantungku seakan berhenti berdetak. Terlalu keras guncangannya terasa di dalam jiwaku.
“Clay, kau tak ingin mencium Mama?” tanya Mama.
Tanpa pikir panjang, aku membelai rambutnya dan mencium pipi kanannya. Dia tersenyum, parasnya berubah menjadi anggun. Tak kutemukan lagi dunia malam dalam sorot matanya. Dia tersenyum manis sekali.Tetapi itu adalah senyum terakhirnya. Aku menjerit dalam keheningan. Memecahkan belenggu kedamaian. Tetapi sayang, tak ada satu orangpun yang mendengarnya.
***
Seminggu setelah kepergian kedua orang yang paling berharga dalam hidupku, aku menemukan secarik surat yang tergeletak di depan pintu kontrakanku. Tak ada nama pengirimnya.

8
Untuk Clay, cahaya penerangku…
Tak ada satu kata pun yang mampu menafsirkan kata hatiku akan dirimu selain maaf dan terima kasih. Kau telah memberikan arti di dalam hidupku yang sempit ini. Aku harus pergi bukan meninggalkanmu, namun hanya terlepas darimu. Jika kau yakin akanku, maka memang inilah cara yang terbaik untuk dilalui. Aku ingin kau menemukan semua yang masih menjadi misteri dalam hidupmu. Walaupun aku tahu, semua misteri itu takkan pernah ada habisnya.
Puncak Everestku, 12 Mei

Dua belas Mei. Hari meninggalnya Sera, sahabat baikku. Udara masih dingin pagi itu, tetapi ada hawa lain yang mencoba mendekatiku. Seolah olah ada tawa Sera di sana. Surat itu dari Sera. Aku merinding dan bergegas masuk ke kamar. Semua baju favoritku dan barang – barang berhargaku aku masukkan ke dalam tas ransel. Kuputuskan untuk memberanikan diri pergi ke rumah Nenek dengan berbekal keinginan yang kuat, foto Mama dan uang yang tersisa di lemari.
Beberapa jam setelah aku menyusiri daerah itu berkali kali, akhirnya aku menemukan rumah mungil bercat putih, bergaya klasik
9
dan terlihat sangat asri. Di halamannya yang cukup luas, ada seorang nenek dengan rambut sedikit beruban. Dia sedang menyirami bunga Lily putih yang indah.
“Permisi, Nek?” sapaku. Dia berjalan menghampiriku.
“Ada yang bisa nenek bantu? Sini masuk anak cantik.” katanya dengan tersenyum. Dia sangat ramah.
“Mmmm.. Nenek kenal dengan dia?” aku memberikan selembar foto Mama.
“Jane ?” Dia menatapku heran. “Dia Jane khan?”
“Iya, Nek. Dia Jane dan aku adalah anaknya.”
“Kau cucuku?” Dia memegang tanganku dengan erat. Menatapku dalam – dalam lalu memelukku dengan penuh kasih sayang. Sedangkan aku hanya terdiam membisu. Di dalam hatiku ada rasa merdeka karena telah berhasil menemukan Ibu Carla alias nenekku. Aku kira dia akan mengusirku dan tak memperdulikanku. Tetapi ternyata dugaanku salah. Nenekku adalah nenek paling baik sedunia.
Sekarang aku tinggal dengan dia. Di rumah yang sangat
10
nyaman. Hidupku membaik dan aku menemukan banyak teman baru di sekolahku yang baru. Tetapi satu yang pasti, aku takkan melupakan Sera. Seminggu sekali aku juga pergi mengunjungi makam Mama dan makam Sera bersama nenekku. Walaupun jaraknya lumayan jauh dari rumah nenek, aku tak pernah melewatkan hari-dimana-aku-tak-pergi-ke-makam-mama. Kami selalu menaruh setangkai bunga Lily putih kesukaannya. Aku sangat menyayangi mamaku walau pertemuan sekaligus perpisahan kami tak lebih dari satu jam. Tetapi inilah jalan terbaik yang harus aku hadapi.
Rasanya aku sedang dilanda musim semi. Bunga – bunga yang indah warna – warni bermekaran di sudut – sudut hati. Satu pencarianku berakhir. Tetapi sekarang atau nanti aku akan mencari Papaku, Clay Sinegar.[B]
Lembayung Senja, Mei 2011
11

Kamis, 29 Juli 2010

hardware

A. Perangkat Keras dan Fungsinya

Komputer terdiri dari beberapa komponen yang merupakan suatu sistem. Komponen komputer ini termasuk dalam kategori elemen perangkat keras (hardware). Berdasarkan fungsinya, perangkat keras komputer dibagi menjadi :
1. input divice (unit masukan)
2. Process device (unit Pemrosesan)
3. Output device (unit keluaran)
4. Backing Storage ( unit penyimpanan)
5. Periferal ( unit tambahan)

komponen dasar komputer yang terdiri dari input, process, output dan storage. Input device terdiri dari keyboard dan mouse, Process device adalah microprocessor (ALU, Internal Communication, Registers dan control section), Output device terdiri dari monitor dan printer, Storage external memory terdiri dari harddisk, Floppy drive, CD ROM, Magnetic tape. Storage internal memory terdiri dari RAM dan ROM. Sedangkan komponen Periferal Device merupakan komponen tambahan atau sebagai komponen yang belum ada atau tidak ada sebelumnya. Komponen Periferal ini contohnya : TV Tuner Card, Modem, Capture Card.

1. Unit Masukan ( Input Device )
Unit ini berfungsi sebagai media untuk memasukkan data dari luar ke dalam suatu memori dan processor untuk diolah guna menghasilkan informasi yang diperlukan. Input devices atau unit masukan yang umumnya digunakan personal computer (PC) adalah keyboard dan mouse, keyboard dan mouse . Selain itu terdapat joystick, scanner, Touch panel, microphone, Input device berfungsi sebagai media untuk memasukkan data dari luar sistem ke dalam suatu memori dan processor untuk diolah dan menghasilkan informasi yang diperlukan.

a. Keyboard
Keyboard merupakan unit input yang paling penting dalam suatu pengolahan data dengan komputer. Keyboard dapat berfungsi memasukkan huruf, angka, karakter khusus serta sebagai media bagi user (pengguna) untuk melakukan perintah-perintah lainnya yang diperlukan, seperti menyimpan file dan membuka file. Keyboard sekarang yang kita kenal memiliki beberapa jenis port, yaitu port serial, ps2, usb dan wireless.



Jenis-Jenis Keyboard :
1.) QWERTY
2.) DVORAK
3.) KLOCKENBERG

Keyboard yang biasanya dipakai adalah keyboard jenis QWERTY, yang bentuknya ini mirip seperti tuts pada mesin tik. Keyboard QWERTY memiliki empat bagian yaitu :
1. typewriter key
2. numeric key
3. function key
4. special function key.

1. Typewriter Key
Tombol ini merupakan tombol utama dalam input. Tombol ini sama dengan tuts pada mesin tik yang terdiri atas alphabet dan tombol lainnya.

2. Numeric Key
Tombol ini terletak di sebelah kanan keyboard. tombol ini terdiri atas angka dan arrow key. Jika lampu indikator num lock menyala maka tombol ini berfungsi sebagai angka. Jika lampu indikator num lock mati maka tombol ini berfungsi sebagai arrow key.

3. Function Key
Tombol ini terletak pada baris paling atas, tombol fungsi ini ini terdiri dari F1 s/d F12. Fungsi tombol ini berbeda-beda tergantung dari program komputer yang digunakan.

4. Special Function Key
Tombol ini terdiri atas tombol Ctrl, Shift, dan Alt. Tombol akan mempunyai fungsi bila ditekan secara bersamaan dengan tombol lainnya. Misalnya, untuk memblok menekan bersamaan tombol shift dan arrow key, untuk menggerakan kursor menekan bersamaan ctrl dan arrow key.

b. Mouse

Mouse adalah salah unit masukan (input device). Fungsi alat ini adalah untuk perpindahan pointer atau kursor secara cepat. Selain itu, dapat sebagai perintah praktis dan cepat dibanding dengan keyboard. Sebagian besar mouse terdiri dari tiga tombol, umumnya hanya dua tombol yang digunakan yaitu tombol kiri dan tombol kanan. Saat ini mouse dilengkapi pula dengan tombol penggulung (scroll), dimana letak tombol ini terletak ditengah.



c. Touchpad
Unit masukkan ini biasanya dapat kita temukan pada laptop dan notebook, yaitu dengan menggunakan sentuhan jari. Biasanya unit ini dapat digunakan sebagai pengganti mouse. Selain touchpad adalah model unit masukkan yang sejenis yaitu pointing stick dan trackball.



d. Light Pen
Light pen adalah pointer elektronik yang digunakan untuk modifikasi dan men-design gambar dengan screen (monitor). Light pen memiliki sensor yang dapat mengirimkan sinyal cahaya ke komputer yang kemudian direkam, dimana layar monitor bekerja dengan merekam enam sinyal elektronik setiap baris per detik.

e. Joy Stick dan Games Paddle
Alat ini biasa digunakan pada permainan (games) komputer. Joy Stick biasanya berbentuk tongkat, sedangkan games paddle biasanya berbentuk kotak atau persegi terbuat dari plastik dilengkapi dengan tombol-tombol yang akan mengatur gerak suatu objek dalam komputer.




f. Barcode
Barcode termasuk dalam unit masukan (input device). Fungsi alat ini adalah untuk membaca suatu kode yang berbentuk kotak-kotak atau garis-garis tebal vertical yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk angka-angka. Kode-kode ini biasanya menempel pada produk-produk makanan, minuman, alat elektronik dan buku. Sekarang ini, setiap kasir di supermarket atau pasar swalayan di Indonesia untuk mengidentifikasi produk yang dijualnya dengan barcode.



g. Scanner
Scanner adalah sebuah alat yang dapat berfungsi untuk meng-copy atau menyalin gambar atau teks yang kemudian disimpan ke dalam memori komputer. Dari memori komputer selanjutnya, disimpan dalam harddisk ataupun floppy disk. Selain scanner untuk gambar terdapat pula scan yang biasa digunakan untuk mendeteksi lembar jawaban komputer. Scanner yang beredar di pasaran adalah scanner untuk meng-copy gambar atau photo dan biasanya juga dilengkapi dengan fasilitas OCR (Optical Character Recognition) untuk mengcopy atau menyalin objek dalam bentuk teks.




h. Kamera Digital
Perkembangan teknologi telah begitu canggih sehingga komputer mampu menerima input dari kamera. Kamera ini dinamakan dengan Kamera Digital dengan kualitas gambar lebih bagus dan lebih baik dibandingkan dengan cara menyalin gambar yang menggunakan scanner. Gambar yang diambil dengan kamera digital disimpan ke dalam memori kamera tersebut dalam bentuk file, kemudian dapat dipindahkan atau ditransfer ke komputer. Kamera digital yang beredar di pasaran saat ini ada berbagai macam jenis, mulai dari jenis kamera untuk mengambil gambar statis sampai dengan kamera yang dapat merekan gambar hidup atau bergerak seperti halnya video.

i. Mikropon dan Headphone
Unit masukan ini berfungsi untuk merekam atau memasukkan suara yang akan disimpan dalam memori komputer atau untuk mendengarkan suara. Dengan mikropon, kita dapat merekam suara ataupun dapat berbicara kepada orang yang kita inginkan pada saat chating.




OUTPUT DEVICE

Output device bisa diartikan sebagai peralatan yang berfungsi untuk mengeluarkan hasil pemrosesan ataupun pengolahan data yang berasal dari CPU kedalam suatu media yang dapat dibaca oleh manusia ataupun dapat digunakan untuk penyimpanan data hasil proses. Jenis dan media dari output device yang dimiliki oleh komputer cukup banyak.


Media yang pertama adalah Visual Display, output yang ada akan disajikan melalui suatu alat yang bentuknya mirip dengan televisi. Pada saat ini, visual display sudah merupakan satu kesatuan dari sebuah komputer
Media kedua yang bisa digunakan sebagai output device adalah berupa kertas.
Media magnetic merupakan media ketiga yang bisa digunakan untuk menampung output komputer.

SPEAKER

Speaker merupakan media output yang berikut bagi komputer. Rekaman suara merupakan jenis output device yang dihasilkan oleh komputer generasi mutakhir dengan menggunakan pelbagai peralatan audio message.





MONITOR
Monitor merupakan salah satu jenis output device yang sangat populer dalam sistem komputer. Monitor berfungsi untuk melihat apakah data ataupun program yang akan dimasukkan kedalam komputer sudah dalam keadaan benar atau belum.



PRINTER

Printer merupakan media output dari komputer yang bisa menghasilkan tulisan, gambar ataupun grafik didalam media kertas. Banyak sekali jenis printer yang bisa dijumpai, baik ditinjau dari segi ukuran, kecepatan, harga, kualitas ataupun teknik peng-operasiannya.




jenis - jenis printer

1. Daisy Wheel Printer
2. Dot Matrix-Printer
3. Ink-Jet Printer
4. Laser Jet Printer
5. Plotter
6. Line-Printer
7. Printer Digital

KU PC

HARDISK
Hardisk merupakan piranti penyimpanan sekunder dimana data disimpan sebagai pulsa magnetik pada piringan metal yang berputar yang terintegrasi. Data disimpan dalam lingkaran konsentris yang disebut track. Tiap track dibagi dalam beberapa segment yang dikenal sebagai sector.



PROCESSOR
Processor merupakan bagian yang sangat penting dari komputer. Ia bisa diibaratkan sebagai otaknya komputer. Yaitu suatu sirkuit elektronik yang berfungsi secara logik merespon dan mengolah segala intruksi yang menghidupkan komputer.




MOTHERBOARD
Motherboard adalah papan sirkuit tempat berbagai komponen elektronik saling terhubung seperti pada PC atau Macintosh dan biasa disingkat dengan kata mobo.
Motherboard yang banyak ditemui dipasaran saat ini adalah motherboard milik PC yang pertama kali dibuat dengan dasar agar dapat sesuai dengan spesifikasi PC IBM



POWER SUPPLY
Masih bagian dalam komputer, yang tersimpan dalam CPU yaitu power supply. Sesuai dengan namanya power supply ini berfungsi mengalirkan listrik ke setiap bagian komputer agar dapat berjalan. Yang biasa dipakai di PC rumahan adalah jenis ATX.




RAM
Memori akses acak (Random access memory, RAM) adalah sebuah tipe penyimpanan komputer yang isinya dapat diakses dalam waktu yang tetap tidak memperdulikan letak data tersebut dalam memori. Ini berlawanan dengan alat memori urut, seperti tape magnetik, disk dan drum, di mana gerakan mekanikal dari media penyimpanan memaksa komputer untuk mengakses data secara berurutan.

Rabu, 09 Juni 2010

boleh aku mati Tuhan ?

tawaku lenyap
hilang
musnah
pudar
pergi
seketika
jiwaku mati ditempat


hidup ini susah
susah untuk diakhiri
susah untuk dijalani
terdiam
berfikir
berlari
namun apa yang pasti?


bibir ini kelu,
raga ini terguncang
bisa apa aku?
menulis tanpa ada yang tau dan mengerti
berbicara tanpa ada yang peduli


boleh aku mati TUHAN??

aromanya

aromanya mendekat
seakan menyapaku
seakan ingin menjemputku
aku bilang

"jangan dulu.."

aromanya mendekat
menjadi pekat dan penat
berdesir
seakan menjawab

"piyantri gyalahuning muwalijuuju"

terjebak ngarai
ingin aku berlari
mencari makna

pikirannya
tadi itu

"aku ingin mengerti bahasamu"

aroma itu menjawab perlahan
berdesir lagi
kali ini terdengar syahdu

"aku ingin kamu kembali ke rumah"

aku tau
ini tak mudah
aku memang tak pantas

sebaiknya aku pulang ke rumah

"wiyantri wanendra hwaningguku wunimujiya"

aroma itu majas...
dan aku ingin pelajari maknanya
aroma itu
mungkin akan datang lain waktu
ketika aku ucapkan

"aku siap pulang ke tanah"

yang dihuni cacing dan rayap
serta smua makhluk itu
aku tau

aroma itu
mencekam
menikam
mengancam

aroma kematian..
ingin aku hirup lagi
tapi takut
tak lagi berada disini..
..

pradinantimujiyaku

kemuning itu..
buat apa?
kuning..
tergeletak begitu saja
diatas kenap..
disebelahnya ada..
lelat yang
menunggu untuk
dipertontonkan

kemuning itu..
tlah berbentuk
tlah berwarna
menunggu keris
menunggu agar ada yang masuk
ke dalam..

tik detik

pelan - pelan kau mulai usik hariku. dengan detikmu yang konstan setiap saat. merajai hari akan keberadaan yang membuat aku jadi terbatasi. namun pada suatu sisi kau adalah harapan akan semua yang akan aku lakukan. mungkin dirimu tau apakah yang akan terjadi saat kau menunjuknya. menunjuknya, menunjuknya.
dan mungkin kau adalah pahlawan saat semua lupa akan keberadaannya. dirimu bagaikan rindu yang dikerinduan. memusat pada hari dan tetap begitu, menjadi sebuah acuan dan patokan bahkan untuk masa depan. tak pernahkah engkau lelah sedikitpun? tak pernahkah engkau berniat untuk berhenti sebentar?
eh. aku mohon jangan pernah terhenti walau kau sebenarnya ingin berhenti. jangan berhenti waktu. walau kau bisa berlalu.

hilang

Matanya telah berubah menjadi berintik putik air. Air matanya perlahan mulai menetes membasahi pipinya. Bulan menjadi saksi bisu atas perpisahan itu. Seakan tak ada yang dapat mendengar tangisan kerinduan dari lubuk hati yang tersayat pedih. Terpencil dan jauh dari segalanya. Hilang dan sepi terasa sendiri. Chika kembali menatap langit yang bertabur bintang. Mendengar deburan ombak dari pantai yang membentur karang di tepi laut. Merasakan belaian angin yang menari bersama rerumputan pinggir pantai. Sendiri dan kesepian.
Sudah cukup lama Chika tinggal di Yogya. Bersama nenek tercintanya yang telah meninggal sejak satu bulan silam. Kini Chika merasa kesepian, tanpa ada canda dan tawa riang neneknya yang selalu menyemangatinya. Kehidupannya berubah menjadi hampa. Setiap malam Ia pergi ke pantai untuk menangis, berdoa dan memohon agar Ia tetap mampu berdiri diantara terpaan ombak. Sembari menaburkan bunga mawar ke laut lepas, dimana adiknya tenggelam dan pergi jauh bersama orang tua dan neneknya ke alam lain. Dimata teman – temannya, Chika adalah gadis yang selalu menyendiri. Tertutup, dan sangat pendiam. Chika tergolong orang yang susah bersosialisasi. Apalagi dengan keadaannya kini. Satu – satunya teman yang selalu berusaha untuk mengerti perasaan Chika, adalah Dilan. Yang sekaligus menjadi tetangga barunya. Entah mengapa Dilan yang baru pindah dari Sleman merasa antusias untuk menjadi teman Chika.
Lagi – lagi hujan turun menguyur Bantul dan sekitarnya. Seperti biasa, Dilan membuntuti Chika pergi tanpa kepastian. Lusa, Chika melangkah ke Malioboro. Bergabung dengan berbagai keramaian, namun masih terlihat hilang seperti merantau ke negeri asing. Hari ini, Ia pergi ke Stasiun Tugu. Hanya ingin menunggu hujan reda, dan Ia kembali ke rumah. Dalam perjalanan pulang, Dilan sengaja duduk bersebelahan dengan Chika, yang seolah acuh dan selalu memandang ke arah luar jendela bus yang mereka tumpangi.
" Chika, sampai seperti inikah kamu memendam perasaanmu ? " kata Dilan mengawali perbincangan itu.
" Inilah aku. " jawab Chika dengan singkat dan masih menatap sesuatu yang seolah menyita perhatiannya di luar jendela.
" Kamu nggak bisa diem terus. Kamu harus bergerak, karena kehidupan ini akan selalu berjalan dengan seiring waktu yang akan terus berputar." Kata Dilan meyakinkan Chika untuk memperhatikannya. Chika terdiam. Mungkin merenungkan sesuatu. Sampai akhirnya Ia berkata,
" Kamu nggak tau apa yang lagi aku rasain."
" Aku tau kamu lagi kehilangan arti hidup. Makanya akhir – akhir ini kamu sering pergi untuk mencari sebuah arti hidup, sendiri. " kata Dilan.
Percakapan itu terlihat semakin akrab. Memang hanya berawal dari sebuah pertemuan di bus kota yang sederhana, namun semua ini adalah awal dari sebuah makna yang istimewa. Bus melaju mengantarkan mereka ke Bantul. Dilan senang, hari ini Ia bisa berbicara dengan Chika. Hari demi hari berlalu dengan cepat. Telah nampak sebuah perubahan yang terjadi pada Chika. Ia sudah mulai mencoba bersosialisasi dengan teman – teman di kelas. Dilanlah yang kini telah menjadi sahabatnya. Mereka selalu berdua, membicarakan hal yang selalu ada kaitannya dengan kematian. Padahal Dilan adalah orang yang takut membicarakan kematian. Namun demi Chika, Dilan berusaha dengan sepenuh hati untuk mengerti sahabat barunya itu.

Jangan menyesal, karena ini adalah yang terbaik untuk kita. Jangan merasa jadi orang yang terendah. Karena serendah – rendahnya orang masih lebih rendah lagi orang yang suka merendah – rendahkan orang lain…
Rembulan setengah tiang. Malam semakin pasi. Bintang bersembunyi di balik lengan awan. Merangkak berwarna semu. Angin bertiup membawakan aroma duka kematian. Semalam, Mas Dion menghembuskan nafas terakhirnya di RS. Bethesda, Yogya. Penyakit kanker yang ganas telah menggerogoti organ – organ tubuhnya, sehingga Dilan harus rela melepaskan kakak yang selalu membelanya jika sedang dimarahi Ibu. Tiga hari Dilan absen. Menangis di sudut kamarnya sembari memeluk boneka beruang hadiah dari kakaknya dua tahun silam. Merenungkan arti kematian yang akan menjemput semua insan di bumi. " Aku nggak tau apa yang terjadi kalau di rumah nggak ada kakakku. " kata Dilan pada Chika malam itu.
" Aku bisa ngerasain apa yang lagi kamu rasain. Ini emang susah, Tapi kan kata kamu, kehidupan ini akan terus berjalan dengan seiring waktu yang akan terus berputar. Iya kan! " Sahut Chika.
Mata Dilan masih terlihat sembab karena Ia selalu menangis. Seolah rembulanpun tahu semua kesedilah yang dirasakan Dilan malam itu. Sehingga Ia tampak bersembunyi di balik awan hitam, di hati yang sedang gelisah.
Hujan rintik – rintik mengawali hari ini. Seperti biasa, Chika dan Dilan berangkat sekolah bersama. Payung warna – warni mengiringi langkah mereka. Obrolan kecil sesekali menimbulkan tawa riang seolah tak ada beban kesedihan. Hujan mereda, mentari kembali bersinar, tak sengaja Dilan dan Chika melihat pelangi dengan keindahannya yang tak abadi. Pelangi itu indah, tapi hanya sesaat saja. Datang dan perginya tak menentu. Walau buat kita bahagia, kadang tinggalkan luka. Namun kedamaian itu sirna dalam sekejap. Dilan melihat seorang anak kecil yang nyaris tertabrak mobil sebelum akhirnya Ia yang menggantikan anak itu. Segera Ambulance membawa Dilan ke Rumah Sakit. Ia harus rela kehilangan penglihatannya selama beberapa tahun. Ternyata Tuhan memang adil. Dilan masih diberi kesempatan untuk dapat menyaksikan indahnya pelangi bersama sahabatnya sebelum Ia kehilangan sesuatu yang berarti. Suasana hening menyelimuti kamar 103, Chika terlihat sedih menyaksikan Ibu Dilan yang dari satu jam lalu tidak berhenti menangis. Tak lama kemudian, Dilan siuman. Ia hanya melihat hitam tanpa batas dalam hari – harinya. Tak ada yang dapat di salahkan dalam peristiwa ini. Menolong sesama adalah kewajiban.walau nyawa yang jadi taruhan. Dilan tahu Ia telah menjadi pahlawan. Namun Ia belum siap hidup dengan keterbatasan. Terpaksa Dilan menjalani homeschooling. Chika jadi semakin sering memotifasi Dilan untuk selalu bersemangat dalam menjalani hidup.
" Untuk apa aku hidup, kalau aku nggak bisa melihat pelangi bersamamu?." Kata Dilan pada Chika sore itu.
" Justru itu, kamu harus bisa nemuin pelangi di sudut pandangmu yang hanya hitam dan sepi. Ini tantangan. Dan aku yakin kamu pasti bisa. " Kata Chika meyakinkan Dilan untuk sabar.
" Dunia ku terlanjur hilang. Apa lagi yang akan hilang dariku. ? Apakah aku harus kehilangan semua yang aku suka ? " Tanya Dilan sambil menahan air mata.
" Rasa kehilangan itu, hanya aka ada jika kamu pernah memilikinya." Kata Chika sambil memegang tangan sahabatnya itu.
" Aku terlanjur memiliki semuanya. " Ucap Dilan.
" Tapi kamu belum bisa memiliki pendirian kalau hidup ini indah ! Kamu cuma bilang hidup ini indah, kalau kamu bisa menjalaninya dengan sempurna. Harusnya dalam keadaan apapun, kamu tetep bilang hidup ini indah. " Kata Chika dengan nada yang agak tinggi.Dengan semua kemampuannya, Chika berusaha meyakinkan Dilan akan Indahnya hidup. Seperti apa yang semua Dilan lakukan pada Chika dulu.

Rasa kehilangan hanya aka ada jika kau pernah merasa memilikinya…
Petang menjelang, dan cakrawala mulai menebar pesona keemasannya. Di pantai, Chika menulis puisi dengan nuansa jingga yang memayunginya. Tak terasa kini Chika telah beranjak dewasa. Ini adalah tahun kedua dimana Dilan kehilangan penglihatannya. Keadaan menjadi berubah. Chika kini sibuk dengan semua puisi – puisi yang Ia tulis untuk Dilan. Karena Dilan sempat berkata, walaupun Ia kehilangan penglihatannya, setidaknya Dilan tidak kehilangan suara, dan melodi. Malam itu, suara camca* terdengar jelas dari kamar Dilan. Itu berarti Dilan sedang merasa sepi. Ibunya menghampiri, sembari membawa secangkir susu coklat kesukaan Dilan. Suasana menjadi hangat, ketika Ibu Dilan mencoba menghibur hati putrinya itu.
" Bu, apakah aku akan melihat senyummu yang manis itu ? " tanya Dilan pada Ibunya.
" Tentu saja. Minggu depan, kamu akan memulai proses penyembuhan. Jadi jangan khawatir, sebentar lagi anak Ibu yang cantik ini bisa melihat dunia seperti dulu. " Kata Ibu sambil membelai rambut Dilan yang terurai panjang.
Tak terasa hari cepat berganti. Proses penyembuhan Dilan dimulai. Setiap lima hari sekali, Dilan harus control ke rumah sakit. Sedikit demi sedikit, tawa riang Dilan mulai terdengar seperti sedia kala. Rona gembira telah terpancar dari wajah Dilan. Tak lama lagi, Dilan dapat melihat.
" Bahagianya aku. Nggak lama lagi aku bisa melihat warna dunia yang sempat pudar dari ingatanku. " Kata Dilan pada Chika pagi itu.
" Ya, inilah yang akan kamu rasakan kalau kamu sabar." Kata Chika.
" Ini juga berkat kamu lho, Ka. Kan selama ini kamu yang udah motifasi aku, mbacain puisi yang paling bagus buat aku , dan selalu nemenin aku kalau aku lagi sendiri. " kata Dilan.
" Kamu juga berarti banget buat aku. Aku bisa jadi kayak aku yang sekarang ini kan berkat kamu. Sampai dulu kamu rela ngikutin aku sampai Malioboro, Stasiun Tugu. Ha..ha." Kata Chika sambil mengingat masa bahagianya bersama Dilan saat mereka masih berusia 13 tahun itu.
Waktu terasa semakin berlalu. Tinggalkan cerita tentang indahnya masa kecil. Dilan akhirnya dapat kembali melihat keindahan dari dunianya. Walau belum normal. Ia sudah merasa kangen dengan warna kota Yogya yang khas. Warna kota yang belum pernah berubah dari tahun ke tahun. Sungguh sulit diungkapkan dengan kata – kata. Keindahan yang tidak akan pernah dimiliki kota – kota lain. Tawa mereka melukiskan sebuah masa yang menyenangkan. Penuh dengan semua emosi yang lugu, perjalanan hidup yang nyata, dan kebersamaan yang abadi.
Akhir Desember, Dilan dapat melihat dengan sempurna. Menyaksikan kembang api yang indah di malam tahun baru bersama Chika, sahabat yang sangat Ia sayangi. Alunan musik yang asyik ikut menyatu bersama mereka dan meramaikan malam itu. Terasa nyaman kebersamaan itu.
" Malam ini sempurna. " kata Dilan sambil mengambil secangkir soft drink di atas meja.
" Iya. Akan lebih sempurna lagi jika aku masih bisa kumpul bareng sama keluarga ku." Kata Chika dengan ekspresi yang agak sedih. Kedua sahabat itu berpelukan. Dekap hangat Dilan menenangkan Chika dari kegelisahannya akhir – akhir ini. Entah apa yang terjadi, sehingga Chika terlihat sedikit pendiam dari biasanya.
Ada resah di bening matanya. Pandangannya kosong. Memantulkan sebuah cahaya jiwa. Melarikan sejumput perbincangan hati. Menembus hujan, tertuju pada pantai Parangtritis. Chika duduk termenung melamunkan sesuatu yang menyita waktunya untuk menulis puisi sore itu. Ia memandangi laut lepas yang kebetulan sepi, tak ada kapal – kapal yang berlayar atau berlabuh. Rintik – rintik hujan mulai membasahi buku bersampul coklat milik Chika. Tulisannya pudar, sedikit. Namun masih bisa terbaca. Chika merobeknya perlahan dan Ia selipkan di sebuah amplop kecil. Segera berlari pulang karena hujan sudah semakin deras. Malam harinya, Ia pergi ke rumah Dilan. Menitipkan secarik surat untuk Dilan dan kembali ke rumah. Ibu Dilan langsung memberikannya pada Dilan.
"Rasanya aneh kalau Chika nggak langsung ngasih surat ini untuk aku. " gumam Dilan dalam hati, sembari membukanya.
Dear Dilan…
Goresan penamu telah mewarnai hari – hariku yang putih. Mengubahnya menjadi nyata. Terima kasih atas apa yang telah kau berikan untukku. Mengubahku menjadi aku yang seperti ini. Aku tau kau telah memilikiku. Tapi maaf aku harus pergi. Bukan meninggalkanmu, tapi hanya melepaskanmu. Pasti suatu saat kita akan bertemu lagi. Jika kau yakin akanku, maka semua ini akan berjalan seperti apa yang kau inginkan…..

*camca : Sendok kecil.
Tetes air mata membasahi surat itu. Dilan segera berlari menyusul Chika yang pergi entah kemana. Hujan dimalam itu tak Ia hiraukan. Satu hal yang saat itu Dilan pikirkan adalah Chika. Dilan pergi ke pantai, namun Ia hanya melihat pasir dan hujan yang seakan merasakan rasa kehilangan yang sama dengan Dilan. Dilan pergi ke Malioboro dengan menumpang sebuah kendaraan yang lewat saat itu. Akhirnya Dilan menemukan Chika diantara keramaian Malioboro yang jauhnya ber mil – mil dari rumah Dilan. Saat itu Chika sedang menulis sesuatu ketika Ia melihat Dilan…
' BRAK ! '
Seketika sunyi. Darah mengalir terbawa arus air hujan. Khalayak ramai menghampiri tubuh yang sudah tak berdaya. Teriakan kecil terdengar memanggil nama Chika. Dilan memeluk erat sahabatnya itu. Mungkin ini pertemuan terakhir antara mereka. Seakan tak mampu melepasnya walau sudah tak ada. Hati ini tetap merasa masih memilikinya. Karena rasa kehilangan hanya akan ada, jika kau pernah merasa memilikinya. Haru menyelimuti sudut pandang Dilan. Ia merasa bersalah jika Chika harus pergi meninggalkannya. Chika segera dilarikan ke rumah sakit terdekat. Ini tak akan terjadi bila Dilan hati – hati. Chika sempat memberikan sesuatu pada Dilan sebelum akhirnya tubuh mungil Chika harus tertutup kain putih yang suci. Kecelakaan itu memang salah Dilan. Dan Chika menjadi penyelamatnya untuk yang terakhir kali., Isak tangis kehilangan terdengar jelas, itu suara Dilan. Ia belum bisa memaafkan dirinya sendiri yang mencelakakan sahabatnya itu. Dilan ingat Chika memberinya selembar kertas tadi. Lalu Ia membacanya.

Untuk sahabatku, Dilan...
Aku tak tau tulisan ini bisa sampai di dekapmu atau tidak. Aku juga tak tau aku harus pergi kemana, dan, harus menulis apa untuk mu. Yang aku tau, aku sangat merasa kehilangan dirimu. Aku harap kita kelak dapat bejumpa lagi. Entah di alam yang sama atau di alam yang berbeda. Walau aku pernah kehilangan orang – orang yang aku sayangi, baru kali ini merasa memiliki, namun sebenarnya aku kehilangan. Aku menyebutnya memiliki kehilangan.walaupun ini nggak masuk akal aku tahu kamu pasti bisa ngerti apa yang aku rasain saat ini .Apakah …

Pesan itu tampak belum selesai. Mungkin tulisan Chika di Malioboro, sesaat sebelum Ia meninggalkan Dilan. Perpisahan ini lebih menyedihkan dari apa yang seharusnya aku coba untuk lafalkan.
Dilan masih tetap mencari kelanjutan pesan terakhir Chika. Yang jelas – jelas tidak akan pernah ditemukan. Sama halnya dengan Chika, Dilan juga baru pertama kali ini merasa memiliki kehilangan. Namun setidaknya Dilan berhasil menemukan arti sahabat….

life

Kumulai menjalani kehidupan baruku di lembar putih bersih belum tergores oleh tinta bolpen hi tec ukuran 0.3 atau lebih dari itu. Aku harap semua yang terjadi kini adalah hal yang tak akan pernah berubah dari keseharianku. Menekuni hal yang pantas dan bisa kulakoni, bukan suatu hal yang terpaksa dan semata – mata hanya logika berbicara. Aku bukan anak ningrat yang gampang buat ngelakoni apa – apa. Mencoba hidup dengan apa yang bisa diajak hidup, bukan hal yang kecil, namun jangan sebut barang mewah. Ini hanya sebuah cacatan perjalanan yang akan menuntunku ke sebuah jalan yang memang membawaku ke tempat dimana semua insan sepertiku menikmati separuh hidupnya disana. Aku tak ingin dibeda – bedakan. Siapa peduli aku dari mana dan termasuk golongan apa? Mungkin tergolong anak aneh yang suka melebih – lebihkan hal yang memang pantas untuk dilebih – lebihkan. Yang suka menjelek – jelekkan hal yang sudah jelek. Berkata bebas tanpa kosa kata menurut orang yang mengaku pintar tetapi tak berhasil menghasilkan sesuatu yang membuat seseorang iri dan ingin menjadi sepertinya. Hanya ada satu manusia yang menghuni ruanganku. Berisi imajinasi dan sel penyemangat yang lebih sering kusebut omh. Bukan partikel dari O2 atau semacam zink. Inilah sebuah bahasa yang membuatku nyata dalam pikiran, perbuatan dan kehidupan.

Sabtu, 29 Mei 2010

semuanya

semua itu mngalir dan tak tau sampai mana dia akan mengalir
semua itu dimulai dan tak tau sampai mana dia akan berakhir
aku ingin musnah
karena aku rindu

Jumat, 23 Oktober 2009

NIER

Kokok ayam pertama membangunkanku dari tidur. Hawa dingin masih terasa menyelimuti subuh ini, kabut masih terlihat dari kejauhan. Dan dewi malam belum ingin beranjak pergi dari peraduannya semalam. Dari jendela, kulihat Ibu Eci sedang membuka pintu rumahnya sembari merapatkan switer abu – abu yang Ia kenakan. Dingin sekali hari ini. Sepertinya hujan akan turun siang nanti. Sang surya pun enggan pergi dari balik awan. Tak seperti biasanya.
Hari ini, Aku memasak di dapur sambil meneguk secangkir kopi panas yang manis. Andi, Beni, Tito dan Agus sedang menimba air sumur untuk mandi. Suasana haru masih terlihat diantara kami karena dua hari yang lalu, Ibu kos kami meninggal dunia. Dan mulai sekarang, akulah yang bertugas menyiapkan sarapan, dan membuat minum. Sedangkan ke empat kawanku menyiapkan air untuk mandi sekaligus membereskan rumah. Diantara kami hanya aku yang bisa memasak. Jadi terpaksa aku harus memasak sendiri. Kalau dipikir – pikir,mamang lebih praktis jika kami membeli makan di luar. Tapi ini semua kami lakukan agar irit dan inilah kebiasaan kami. Aku Oyan. Bisa masak, bisa ngelukis, tapi nggak bisa nulis sesuatu yang mbikin orang – orang jadi heboh kalo membacanya. Sebenarnya aku ingin menjadi penulis seperti Fahri Aziza, Pipiet Senja, Biru Laut atau penulis – penulis hebat lainnya. Sayangnya setiap kali aku mengirim cerpen ke majalah, masih saja tidak dimuat. Tapi walaupun begini, aku masih sering mencoba menulis sesuatu diantara waktu luangku. Aku adalah seorang mahasiswa semester dua jurusan teknik sipil di sebuah Universitas di daerah Yogya. Aku senang kuliah di sini. Soalnya banyak cewek – cewek cantik yang wira – wiri didepanku. Kebetulan Agus dan Tito sejurusan dengan ku. Jadi, selain menjadi teman kos, mereka juga menjadi teman kuliahku. Setelah semua siap, kami berlima berangkat ke kampus. Naik motor butut dari kos – kos an. Cuaca hari ini memang mendung. Burung kenaripun melantunkan nyanyian semu. Di jalan, Aku melihat Nierwana. Yang kerap dipanggil Nier, Anak Ibu Eci tetangga depan rumah sedang menunggu angkot di pinggir jalan. Padahal setahuku, anak – anak SD masuk sekolah sekitar pukul tujuh sampai setengah delapanan. Tapi kenapa Nierwana baru akan berangkat ? padahal inikan sudah pukul sepuluh lewat lima belas menit. Gumamku dalam hati. Iseng saja, aku berhenti dan aku bertanya.
" Nier, kok belum berangkat sekolah ? Mas Oyan anter aja, yuk ?
" Tapi…Ya udah mas. Mas Oyan tau sekolahku kan ? " jawab Nier dengan sedikit senyum – senyum.Tak lama kemudian, sampailah kami di sekolah Nier. Tiba – tiba bel istirahat berbunyi. Nier tampak gugup. Ia berterimakasih padaku dan membuka gerbang sekolah dengan hati – hati agar tidak ketahuan satpam yang tertidur di pos. Ada apa anak ini. Dengan sengaja, aku membunyikan klakson motorku dan berharap satpam itu terbangun dari tidurnya.
' TIN … TIN…'
Nierpun berlari, namun sia – sia saja. Pak satpam terlanjur mengetahuinya. Dan Nier dibawa ke kantor Guru. Entah apa yang akan terjadi, namun aku merasa bersalah. Dan aku menyusulnya ke kantor Guru. Aku melihat Nier menangis.
" Waduh… Gawat! " bisikku.
Aku menghampirinya, dan ku dengar Ibu Guru Nier sedang menasihatinya. Dan Ia mempersilahkan aku untuk duduk disebelah Nier. Kurasa, Nierwana marah padaku.
" Maaf, Anda ini siapa ? " Tanya Guru Nier padaku.
" Saya Oyan, Bu. Tetangga Nierwana. Yang tadi mengantar Nier ke sini."
" Baiklah mas Oyan, mengapa Nier bisa terlambat akhir – akhir ini ? " Tanya Bu Guru padaku sambil membetulkan kaca matanya. Setelah panjang lebar aku menceritakan kejadian tadi pada Guru itu, Nier dan aku dipersilahkan keluar. Bocah itu langsung berlari menuju kelasnya tanpa melihatku sedikitpun. Tak hanya Nier yang telat. Terpaksa aku pun ikut telat ke kampus.

Mengakui kesalahan itu lebih sulit dari berbuat kebaikan.
Pelajaran rumit dari dosenku yang baik hati, akhirnya hanya dapat kuterima 60 % dari biasanya. Aku masih memikirkan Nier dan kejadian tadi.
" Yan, mikerke sopo tho ? kok ket mau ngelamun.. wae." Tanya Agus padaku.
" Iya, nih. Dari tadi ngelamun. Kalo punya gandengan baru, kita dikenalin dong."Sahut Tito. " Em…. Enggak kok. Aku cuma mikirin si Nier. Anak nya Bu Eci tatangga depan rumah. "
Lalu aku menceritakan semuanya pada Agus dan Tito.
" Kamu ki ngawur banget, tho. " kata Agus.
" Lha aku harus ngapain ? " jawabku.
" Yo, kamu minta maaf sama dia. " kata Agus menyarankanku.
Tiba – tiba hujan turun dengan derasnya. Di iringi suara petir yang sesekali mengagetkan. Kami bertiga berteduh di depan Lab. Kimia, dan meneruskan perbincangan tadi. Lama sudah menunggu hujan reda. Dari tadi kulihat Tito asyik memencet tombol HP nya. Nada dering SMS nya juga jarang berhenti. Tak seperti biasanya.
" To, sibuk ya ? Lagi SMS an sama sapa sih ? " Tanya ku sambil merebut HP Tito. Aku membaca SMS nya, APA?! Inbox nya berisi Vina semua. Sepertinya aku kenal nama itu. Tito merebutnya kembali. Karena nada dering SMS nya kembali berbunyi.
" sek – sek, sabar. Nanti juga kalian bakal tau, Aku SMS an sama Siapa. " Kata Tito sambil memainkan Hpnya. Agus tau apa maksudnya. Dia langsung pura – pura batuk.
Sore hari, masih tercium bau tanah yang terguyur hujan. Sudah lama aku tak mencium bau ini. Dari jendela kamarku, aku melihat Nier sedang menulis sesuatu di teras rumahnya. Aku keluar rumah, ketika Agus sedang mandi, Tito sedang makan, Andi sedang main gitar dan Beni sedang asyik nonton TV. Kuhampiri Nier, dan aku duduk di sampingnya. Nier hanya diam. Ia tak melanjutkan aktifitasnya.
" Nier, masih marah ya ? " tanyaku . Namun Ia hanya diam.
" Emang kenapa sih, kok kata Guru kamu akhir – akhir ini kamu sekolahnya telat terus ? Cerita aja sama mas Oyan. "kataku sok dekat.
" Aku nggak mau cerita sama mas Oyan ! Mas Oyan kan biang gossip. Pasti nanti Ibu jadi tau kalo aku cerita sama mas Oyan. Udah sana pulang aja. O,ya. Satu lagi! Jangan pernah nganterin sekolah aku lagi. " bentak Nier padaku. Aku tahu dia masih kecil, namun kelihatannya masalah yang sedang dihadapi bocah kelas empat SD ini lumayan berat.
" Janji deh, nggak bilang sapa – sapa. Gini aja yuk, mending kita ngobrolnya jangan di rumah. Kita pergi ke tempat yang sepi, sambil makan Es krim. Mau nggak ? " rayuku.
" Tapi janji ya.. Ya udah deh. Ke pantai aja yuk ? " Kata Nier dengan nada gembira.
Segera saja aku mengambil motor dan HP. Nier pergi dengan membawa sebuah buku tebal. Seperti Diary. Namun entah apa itu.
Petang menjelang, cakrawala mulai menebar pesona keemasannya. Di pantai, Aku dan Nier melihat keindahannya dengan nuansa jingga yang memayungi kita. Awalnya Nurul hanya takjub melihat keindahan ini.
" Andai aku seumuran dengan mas Oyan, aku tak ingin pulang malam ini." Bisik Nier. Walau sedikit tidak jelas, aku bisa melafalkannya. Sebenarnya aku masih bingung, apa yang Nier rasakan ? Kumulai saja perbincangan ini. Karena kulihat es krim Nier hampir habis.
" Eh, Nier… tau nggak ? namamu itu bagus lho. Artinya surga. Harusnya kamu berterimakasih sama orang tua mu. Udah ngasih kamu nama Nierwana. "
" Wah… yang bener mas ? Tapi, mas Oyan tau dari mana ? " Tanya Nier dengan lugu.
Setelah sedikit basa – basi, mulailah pokok permasalahannya. Namun aku lupa! Ternyata langit sudah semakin pasi. Bintang mulai datang bersama bulan. Aku langsung mengajak Nier pulang. Namun sebelum itu, Ia ingin ke kamar kecil. Nier menitipkan buku bawaannya padaku. Sengaja, aku membukanya. Ku baca tulisan terakhirnya. Tidak salah lagi ini diary. Sekilas aku membukanya, halaman demi halaman aku selalu menemukan kata Oyan yang ditulisnya dengan bolpoint berwarna pink. ' Diary, hari ini aku seneng, tapi juga sedih. Tau nggak sih… Tadi aku berangkat sekolah diantar sama mas Oyan. Keren kan ? Tapi aku juga sedih. Soalnya mas Oyan nakal. Gara – gara dia, aku dimarahin sama bu Indri yang galak. Huuh… Tapi, walaupun begitu, mas Oyan tetep aku tulis pake tinta pink. Soalnya, kamu tau kan , Diary ku sayang…. Eh,,, mas Oyan datang tuh.. mau apa ya ??? Kebetulan, Ibu dan ayah sedang pergi. Tapi, memang mereka selalu pergi meninggalkan aku.'
Apa maksudnya ? Aku segera menutup buku itu karena kudengar suara pintu terbuka. Segera saja aku dan Nier pulang karena langit sudah semakin pasi. Di rumah, aku melihat Agus dan Tito sedang bertengkar. Kelihatannya masalah mereka cukup rumit. Entah apa yang terjadi sebenarnya, namun aku berharap besok pagi mereka sudah kembali seperti biasa.
Matahari pagi telah bersinar. Hari ini aku agak telat bangun. Mungkin masih capek karena semalam aku merenungkan isi buku Nier. Apakah firus merah jambu itu benar – benar terjadi pada Nier ? Batinku. Aku keluar kamar dan menuju ke dapur untuk memasak seperti biasa. Tak sengaja aku melihat Agus dan Tito sedang merebutkan kamar mandi. Ternyata, mareka masih musuhan.
“ Heh, mbok jangan kayak anak kecil gitu lho. Mau mandi aja pakek rebutan kamar mandi!” Bentakku pada mereka.
“ Sing waras ngalah! “ sahut Agus sambil meninggalkan Tito dan menghampiri ku. Agus kesal. Ia menceritakan masalahnya padaku.
“ Si Tito kuwi lho. Jengkel aku! Lha wong yang kenal sama Vina aja aku duluan, kok teko – teko dia udah SMS an sama Vina. Maggilnya Yang lagi. Emange opo ? Yang yang palalu peyang ?”
“ Yo sabar wae tho Gus. Kan kamu juga udah tahu sendiri kalo Tito itu orangnya egois. Pengen menang sendiri. “ Kata ku sambil membalik telur ceplok yang hampir matang. Perang mulut itu kembali terjadi saat anak – anak kos yang lain sedang sarapan. Mereka tidak pernah akur setelah kejadian semalam. Suasana jadi tidak ramai. Padahal, yang selalu membuat humor – humor waktu anak – anak kos di Bantul ini pada kumpul, hanya Agus dan Tito. Sepi. Hampa.Rasanya hidup ini nggak komplit setelah aku kehilangan Bu Welas, pemilik kos ini.
Terpaksa aku berangkat ke kampus paling akhir. Karena aku harus membereskan ruang tengah yang berantakan, ulah Andi dan Beni yang semalam tak membuang kulit kacang setelah menonton bola. Lagi – lagi aku bertemu dengan Nier di pinggir jalan. Kali ini dia menangis. Tak mengenakan seragam sekolah dan Nier juga tak mengenakan sepatu . Hanya membawa tas yang lumayan besar. Karena penasaran, aku berhenti mendekatinya.
“ Nier, mau kemana ? Kok nggak sekolah ? libur, apa… “ belum selesai aku bertanya pada Nier, namun Ia memotong pembicaraan dan tangisannya semakin pelan.
“Aku sekolah mas, tapi bajuku belum disertika Ibu, semalam Ibu dan ayah nggak pulang ke rumah.” Katanya sambil menghapus air mata. Kasihan sekali anak ini.
“ Kenapa kamu nggak nyerika baju sendiri ? “
“ Aku nggak bias ngambil setrikaannya, mas. Soalnya Ibu naruhnya di atas lemari. Aku udah nyoba ngambil, tapi nggak sampai. “
“ Mbok ya bilang sama mas Oyan, ntar kan bisa tak serikain. “ ucapku sambil melihat Nier yang lugu dan imut – imut itu. Dari matanya, tersirat cahaya penyejuk nurani. Anak ini mempunyai mata yang indah. Seindah namanya, yang berarti surga. Aku memutuskan untuk mengajaknya berbicara. Mungkin, aku bisa membantu Nier keluar dari masalah yang seharusnya belum pantas Ia terima. Nier ku ajak ke pantai Parangtritis seperti kemarin malam. Tangannya dingin ketika ku pegang. Mungkin Nier sakit.
" Nier, kok kamu dingin sih ?" tanyaku pada bocah itu.
" Nggak papa kok mas,emangnya aku dingin ya ? " jawabnya pelan.
Kumulai bertanya, apa yang terjadi.Setelah satu jam berlalu, kuputuskan untuk mengajaknya ke kampus. Walaupun ini sangat berat, aku akan mencoba menemani Nier yang saat ini sedang kesepian. Sesampainya di kampus, Agus datang menghampiriku.
" Yan, mulai hari ini aku nggak bakal tidur di kos – kosan lagi. Aku mau pindah. Jengkel aku sama si Tito monyong itu ! " Kata Agus sedikit marah.
" Apa nggak dipikir lagi tho Gus ? Kamu tuh kalo mau pindah, pamitan dulu sama Beni, Andi terus ke Makamnya Bu Welas dulu. Lagian kamu tuh, kayak anak kecil. Cuma gara – gara cewek aja, bubaran sama sahabatnya sendiri. " kataku sembari melepas jaket.
Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi hari ini, esok dan yang akan datang.
Nier kusuruh menunggu sampai kelasku selesai. Ia sedang asyik bermain game di warnet kampusku. Beberapa jam kemudian, aku selasai kuliah hari ini. Nier kembali kutemani. Walau aku dan dia berbeda umur, namun kami berdua tetap enjoy. Nier mencoba menelfon Ibu Eci, namun tidak pernah diangkat.Dan akhirnya Ia menelfon Pak Hamzah, ternyata Pak Hamzah sedang berada di kantornya.
" Mas, papa ada di kantor. Mas Oyan mau nganterin aku ke kantornya Papa nggak ? " Ucap Nier dengan riang.
" Oke,deh… Berangkat yuk …" kata ku penuh semangat, melihat Nier tersenyum lagi.
Di kantor Pak Hamzah, kami malah dimarahi,
" Papa, Nier kangen. Kok udah satu bulan ini, papa nggak pulang ke rumah ? " Tanya Nier dengan lugu.
" Kamu nanti juga tau sendiri. Udah sana pulang. Masih kecil saja kerjanya main dengan anak kos yang nggak jelas ini. !" Bentak pak Hamzah pada kami.
" Nier, jangan pernah menyusul papa ke kantor lagi ! Pergi sana bersama Ibumu. Saya dan Eci akan segera bercerai. " Lanjut Pak Hamzah.
" Cerai ? " Kata Nier dengan spontan. Ia terkejut. Setan apa yang telah merasuki pikiran Bapaknya sehingga, Orang tua Nier berniat untuk bercerai. Dengan menahan air matanya, Nier pergi meninggalkan Pak Hamzah sambil menarik lengan bajuku. Ia tak pamit, dan aku mulai mendengar isaknya. Sekitar lima belas menit kami tak berbicara sepatah katapun. Sampai akhirnya,
" Mas, aku nggak mau jadi anak broken home." Katanya melas. Hatiku miris mendengar kata – katanya. Nier memang belum terlalu mengerti apa itu broken home, tapi sorot matanya meyakinkan aku bahwa Nier butuh seseorang.
" Sabar aja ya, Nier. Kan disini masih ada mas Oyan. Gini aja deh, gimana kalo mulai besok, kamu aku antar sekolah, aku buatin makanan, aku temenin belajar, pokoknya kemana – mana ntar mas Oyan temenin deh. Mau nggak ? " kataku. Sebenarnya, aku tak sanggup melakukan semua ini. Namun Nier sudah tak punya siapa – siapa lagi. Ibunya pergi entah kemana, Bapaknya sibuk dan egois, saudara – saudaranya, aku tak tahu dimana.
" Tapi, aku nggak mau ngerepotin mas Oyan. Kan mas Oyan kuliah juga. " jawabnya sedih.
" Tenang aja, ntar aku atur. Lagian juga kalo sore, aku nggak ada kegiatan. Walaupun ada sedikit. He – he."
" Tapi bener nih, aku nggak ngerepotin mas Oyan ? "
" Iya. Nggak papa kok. "
Setelah sebulan berlalu, Ia ditinggal kedua orang tuanya, kulihat Nier senang bersama ku. Kami pun menjalani hari – hari bersama. Di penuhi warna. Kami tertawa dan bersedih bersama. Aku mulai menganggap Nierwana sebagai adikku. Entah sampai kapan ini akan berlangsung.
Salatiga, Mei 2008

jangan pergi

Aku adalah luka, trauma, depresi, stress, beban dan semua keterpaksaan yang ada. Aku hidup dengan orang tua dan dua orang adik yang masih kecil. Sebagai anak pertama, aku selalu dituntut oleh orang tuaku untuk menjadi contoh yang baik bagi adik – adikku. Aku selalu mencobanya. Setiap waktu yang kulalui, kugunakan untuk itu. Namun, apa yang terjadi? Semua itu salah. Semua yang kulakukan tak ada gunanya. Aku disini, hanya berperan sebagai benalu yang selalu disalahkan oleh mereka, yang mengaku telah membesarkanku sampai aku kini duduk di kelas 9 di SMP Tunas Harapan. Aku kesepian, aku lelah dan menderita tinggal bersama mereka.
Hampir setiap malam dirumahku hanya ada gertakan, keributan dan suara tangis adik – adikku yang sangat kencang. Dan itu membuat aku telah terbiasa berada diantara kerumunan itu. Saat semua mulai meredup, aku terdiam dikamar, mencoba memahami apa yang terjadi dengan keluargaku ini. Sudah sepantasnya untuk aku mengetahui masalah – masalah yang sedang bernaung di hati orangtuaku itu. Mungkin saja aku bisa meringankan sedikit beban yang juga berimbas padaku. Tapi apa yang mereka lakukan setiap aku berusaha mencari alasan itu? Diam. Dan sama sekali tak memperdulikanku. Sampai suatu saat aku benar – benar ingin mati dibuatnya. Aku ingin menjadi hantu saja. Percuma aku menjadi bagian dari keluarga itu, karena setiap saat, mama dan papa seolah tak melihatku ada disana bersama mereka. Seolah – olah yakin bahwa aku tak ada disana bersama mereka.
Aku bosan seperti ini. Aku lelah berada disini. Aku ingin seperti anak – anak lain, yang masih bisa menikmati indahnya dunia. Aku ingin sekali diperhatikan oleh orangtuaku. Namun aku mungkin telah kehabisan cara untuk mencoba mendapatkan seditik respon dari mereka. Atau mungkin mereka yang terlalu sibuk dengan urusan orang dewasa dan urusan keuangan rumah tangga, sehingga tak ada waktu lagi untuk sekedar makan malam bersama. Apa ini masih layak disebut keluarga? Aku selalu bertanya pada hati kecilku. Apa yang harus aku perbuat? Aku bingung, aku takut dan aku gelisah. Aku seperti hilang dari jalan hidup orangtuaku. Aku seperti hidup tanpa mereka. Aku sendiri, seperti tak memiliki keluarga. Tak memiliki dukungan dari orang yang seharusnya manjadikan aku nomer satu di hidupnya. Aku selalu ingin menangis. Sampai suatu hari, dimana semua amarah dan kebencian bersatu, dimana semua keinginan untuk meledak – ledak berkumpul di dalam hati. Dendam, murka, kacau.
"Kamu itu sudah berkeluarga! Seharusnya bisa menjaga hati suamimu ini! Bukan malah berduaan di kantor dengan lelaki yang bukan muhrim itu! Kurang apa aku ini? Kurang apa? Setiap kamu minta uang untuk foya – foya, apa pernah aku menolak untuk memberimu uang? Setiap kamu nggak mau ngelayani aku, apa pernah aku maksa – maksa kamu untuk itu?" bentak papa yang barusan mendengar kabar kalau mama berduaan dengan seorang lelaki di kantornya. "Dengerin aku dulu mas. Dia itu cuma rekan kerja, sebatas itu aja. Kenapa sih, Mas selalu nyalahin aku kalau urusan seperti ini? Kenapa selalu percaya sama omongan orang lain?" Mama mencoba membela dirinya.
"Jelas aku lebih percaya orang lain dari pada kamu! Coba kamu hitung sendiri, sudah berapa kali aku negur kamu gara – gara urusan macam ini?"
"Seharusnya, Mas ngaca dong! Berapa kali, Mas jalan dengan perempuan – perempuan cafĂ© itu? Dan.."
"PLAK..!!" belum selesai Mama dengan kalimat – kalimatnya, sebuah tamparan mendarat di pipi mama yang selalui dihias dengan make up.
"Kamu? Dasar istri kurang ajar! Nggak tahu malu ya kamu!" lagi – lagi papaku meledak – ledak. Kali ini lebih dahsyat dari sebelumnya. Dan aku sudah benar – benar ingin berteriak, menangis, dan menyadarkan mereka atas perbuatan mereka yang tak pantas menjadi tontonan kedua adik – adikku. Aku menyesal telah menjadi bagian dari keluarga ini. Sambil menangis, Mamaku mencoba mengungkapkan semuanya.
"Ceraikan aku, Mas. Aku sudah nggak kuat hidup dengan kamu."
"Wanita murahan! Berani sekali kamu…"
"Diam!! Aku benci kalian! Kalian bukan orang baik! Kalian jahat!" Akhirnya aku berhasil membuat hati mereka tergerak. Aku hanya takut sesuatu yang fatal terjadi. Aku takut adik – adikku menjadi depresi dan rendah diri karena peristiwa yang barusaja mereka lihat dengan mata kepala mereka sendiri.
Mamaku berlalu ke kamar. Aku hanya terdiam di tempatku berdiri. Aku mencoba mengatur emosiku, tapi aku benar – benar tak kuasa. Kuputuskan untuk mencari udara di sekitar rumah. Mungkin dengan berkeliling kompleks, jiwaku bisa sedikit tenang. Aku berharap, menemukan teman yang bisa menghapus keluh kesahku. Dan ternyata, doaku terkabul. Aku melihat seorang perempuan seusiaku di ayunan taman. Baru sekali ini aku melihatnya ada di kompleks rumahku. Aku berpikir, mungkin ini teman yang dikirimkan malaikat Tuhan untuk menemani langkahku yang mulai merapuh.
"Hai..?" sapaku.
"Hai juga. Kenalin, aku Bella."
"Aku Ira,Nabira..Senang bisa kenal kamu."
"Aku juga."
" Sekarang kita teman kan?" "Iya, pasti." Bella tersenyum. Aku beruntung bisa bertemu dengan Bella sore ini. Aku sekarang punya teman. Yang mungkin bisa menjadi tempat untuk berbagi. "Rumahmu nomer berapa? Aku baru dua hari tinggal disini." Kata Bella.
"Oh, nomer 4. Yuk, kapan – kapan main kerumah." Ajakku.
"Oke, sip. Nggak terlalu jauh dari rumahku ya? Aku nomer 10." Tak lama setelah itu, aku dan Bella sudah sangat akrab. Apalagi setelah tahu bahwa Bella bersekolah di sekolah yang sama dengan aku. Aku seperti dihidupkan kembali olehnya. Dari sinilah semua keterpurukanku mulai membaik. Aku senang bisa mengenal dia. Dan aku akan menyayanginya. Bella dapat mengerti diriku. Dia sangat baik, walaupun terkadang dia selalu menyuruh ku untuk ini dan itu. Namun semua itu aku lakukan, aku lakukan dengan semaksimal mungkin karena aku sayang Bella. Setiap hari, aku selalu pergi bersama Bella. Aku selalu tersenyum dan bercanda dengannya. Tak ada kesedihan dan kesepian kala itu. Semuanya indah dimataku. Dan aku mulai acuh dengan keluargaku, yang semakin hari semakin parah. Sahabat adalah orang nomer satu. Sahabat adalah cinta yang besar. Sahabat adalah segalanya. Sahabat adalah udara untuk hidup, menghidupkan hidup agar lebih hidup, mewarnai kehidupan, dan hidup yang menyenangkan. Sahabat adalah cahaya dikala gelap, obat dikala sakit, senyum dikala sedih, tali saat mulai terurai, harapan dikala goyah, menghangatkan dikala dingin, menyejukkan dikala terik, ketulusan, kejujuran, anugrah dan sangat berharga. Aku sayang kamu, Bella.
"Ra, kita ke mall yuk. Sapa tahu ada barang bagus." Kata Bella siang itu.
"Oke. Emang mau cari apa sih, Bel?" jawabku sambil menyiapkan semuanya.
"Apa aja deh, tapi yang gratis ya?"
"Hehhehhe,"aku tertawa kecil. "Jadi aku yang bayar nih?" tanyaku.
"Seperti biasa, Sayang. Oke ?"
"Iya deh, apa sih yang ngga buat orang yang paling berarti di hidupku?" kataku sok puitis. Dan kamipun pergi.

Sudah hampir satu tahun aku selalu bersama Bella. Bahkan kami layak disebut sebagai buah pinang yang dibelah dua. Kami sangat mirip, mulai dari gaya rambut, gaya bicara, cara berpakaian dan barang – barang yang sama. Dan aku masih sangat bangga dengan dia, sampai pada suatu hari, temanku, Putri menceritakan rahasia dibalik semua ini. "Ra, kamu cuma dimanfaatin sama Bella. Maaf baru bisa bilang ke kamu sekarang. Aku takut, Ra. Tapi lama – lama aku juga nggak bisa ngeliat kamu gini terus." "Maksudnya apa Put? Manfaatin gimana sih?" tanyaku heran.
"Selama ini, kamu kan yang ngebiayain kebutuhannya Bella? Misalnya kayak ngebayarin Bella nonton, mbeliin Bella baju, pergi sama Bella dan selalu kamu yang ngeluarin uang. Sadar nggak?" celoteh Putri.
"Aku nggak tahu, Put. Wajar aja kali, kan Bella sahabatku."
"Tapi apa kamu tahu, Bella itu sering banget ngomongin keburukanmu sama teman lain. Dia juga pernah bilang ke aku, kalo sebenernya kamu itu anak hasil dari main serongnya mama kamu." Aku nggak percaya. Benar – benar tak bisa berbuat apa – apa lagi. Aku merasa sangat ingin marah, tapi pada siapa seharusnya aku marah? Pada diriku sendiri karena aku bimbang? Pada Putri karena dia mencoba membuatku ingin menangis? Pada Bella yang masih menjadi orang terpenting di hidupku? Atau pada mamaku yang masih setia pada papa? Batin ini terguncang lagi. Jiwaku bergumuruh, semuanya berubah menjadi kacau.
Kristal bening itu jatuh, membasahi hati yang sudah lama kering. Aku benar – benar sulit untuk menilai mana yang benar adanya. Dan aku benar – benar ingat dengan peristiwa malam itu, saat Putri mencoba membuktikan semua yang pernah dia ucapkan padaku. Putri mengajakku kerumahnya. Dirumahnya, ada sebuah telefon parallel yang masih berfungsi. Dan ketika salah satu telfon itu digunakan, maka telfon yang tidak bekerja dapat mendengar isi percakapan dari orang yang sedang kita hubungi. Dengan cara itu, Putri membuktikan semuanya. Ketika Putri menelfon Bella, aku sangat berhati – hati mendengarkan mereka.
"Halo, Bella?" Putri mengawalinya.
"Iya, kenapa, Put? Tumben banget nih." Jawab Bella dengan nada yang datar.
"Aku cuma mau tanya aja. Ngeganggu nggak nih?" "Santai aja. Apaan?"
"Tentang Nabira." "Kenapa, Put?"
" Sebenernya, kamu sama dia tuh udah berapa lama sahabatan? Trus, enak nggak sih punya sahabat kayak dia?"
"Hampir setahun kali ya? Bodo amat ngga aku hitung. Ya… gimana lagi? Aku ya happy – happy aja gitu. Dia kan hartaku." Kata Bella dengan santai. Dan kata – katanya itu, sudah mulai melukaiku. "Oh, gitu ya?" kata Putri.

"Kalo bukan karena uangnya, ngapain sih aku mau nemenin dia kemana – mana? Anak broken home gitu nyusahin banget." Nadanya meremehkan.
"Wah, berarti selama ini istilahnya kamu cuma manfaatin dia gitu?"
"Ya jelas. Hahhahha" jawabnya santai.
"Owh..hmm..kalau kamu mau tau, Bel. Sekarang Nabira denger apa yang barusan kita omongin. Kamu binatang ya! Nggak bisa mikir ? Nggak bisa ngerasain? Dia itu sayang sama kamu. Hebat ya bisa acting sampai kayak gini. Wuih! Kelihatan real banget ya kamu. Jago ya. Belajar dimana? Dasar!" kata Putri masih dengan nada santai.
"Heh! Maksudnya apa sih?" Bella mulai marah. Dan aku yang terisak, mencoba berbicara dengannya. "Makasih buat semuanya, ya Bell. Susah banget ya cari seseorang yang bisa bener – bener sayang sama aku? Bukan karena semua yang aku miliki sekarang, bukan karena terpaksa, tapi karena dia benar – benar ingin untuk mengerti aku. Makasih selama ini udah nemenin aku. Trus, spesial makasih buat Bella! Yang udah berhasil mbuat aku down, gak berguna, en pengen banget sama yang namanya ngebunuh kamu! Puas sekarang? Ato masih ada perlu lagi sama uangku? Aku benci kamu!!" Aku mengakhiri percakapan itu. Tangisku meledak, dan rasanya susah sekali untuk menghirup udara. Kacau, semuanya hancur, ada kiamat kecil dihatiku. Yang barusaja memusnahkan apa saja yang ada di dalamnya.
"Ra, sabar ya." Aku merasakan hangatnya tubuh Putri yang mendekapku. "Sebenarnya, aku udah lama pengen kenal kamu lebih deket. Cuma aku takut, kamu nggak suka sama aku. Aku kan cuma anak biasa gini. Tapi aku sebelumnya juga mau minta maaf, kalau aku telat untuk ngasih tahu semuanya." Kata Putri.
"Makasih, Put." Jawabku singkat. Aku masih menangis. Aku benar – benar depresi. Seketika muncul hasrat untuk mengakhiri hidup, namun aku masih cukup sadar bahwa itu adalah salah. Dan aku tak ingin berbuat salah lagi.
Berhari – hari aku mengurung diri di kamar. Aku membolos dan tak pernah beranjak dari tempat tidur. Aku hanya terbaring, merasakan kehampaan yang merajarela dan sama sekali tak menyentuh makanan, apalagi air. Beginilah aku yang sekarang,tapi walaupun aku seperti ini, tak ada seorang manusiapun yang mau mengerti aku. Mama dan papa mungkin tak sadar aku ada di kamar. Mereka mungkin mengira aku ada di tempat Bella, seperti biasa. Caraku sudah benar – benar habis. Air mataku telah terkuras karena semua ketidak adilan itu. Aku ingin mati! Aku menyesal telah dilahirkan!
"Tok..tok..tok.." ada yang mengetuk pintu kamarku.
"Ra, aku boleh masuk nggak?" itu suara Putri. Aku segera menuju pintu, dan membiarkan Putri masuk.
"Jangan gini terus dong. Aku nggak mau ngeliat kamu jadi gini. Nggak masuk sekolah, ngunci diri dikamar, nangis setiap hari. Ayo dong, Ra. Aku ada disini buat nemenin kamu. Aku bakal ada buat kamu, Ra." Kata Putri.
"Aku trauma sama sahabat."
"Hmm," Putri bergumam, "Ya udah deh, mungkin kamu masih butuh waktu buat nenangin diri, maaf udah ngeganggu. Aku pamit ya. Jangan lupa besok berangkat sekolah. Sebentar lagi kita UAN. Jangan lupa mandi, rambutmu yang bagus itu nanti rusak loh, kalo nggak kamu rawat, jangan lupa maem ya. Aku percaya kamu mau ngelakuin semua yang aku bilang barusan. Jangan buat aku sedih, Ra. Aku pengen kamu jangan nyerah gitu aja. Diluar sana, masih banyak orang yang mau peduli sama kamu. Jangan buat aku nggak tenang ya, Ra. Aku pulang dulu." Kata Putri panjang lebar.
"Makasih, Put. Hati – hati ya." Putri tersenyum manis sekali, lalu Ia berlalu. Sebenarnya aku ingin Putri masih bersamaku disini. Tapi aku terlambat menyusulnya.
Beberapa jam setelah Putri menghilang dari sudut pandangku, aku mendengar kabar, bahwa Putri kecelakaan. Ia meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Tentu saja air mataku tak dapat kubendung lagi. Aku meleleh, aku tak kuasa dan aku benar – benar menyesal. Pada siapa aku harus bertanya? Mengapa ini terjadi terlalu cepat? Bahkan aku sama sekali belum pernah memberikan apa – apa untuk Putri. Kenapa bukan aku saja yang meninggal? Kenapa harus Putri? Kenapa dia pergi saat aku benar – benar butuh sahabat seperti dia. Aku kehilangan waktu, kehilangan Putri, kehilangan, benar – benar merasa kehilangan. Aku terpuruk dan teraniaya sepi, sendiri, disini. Pada siapa aku harus mengadu jika aku rindu dengan sosok mungil itu? Putri, aku ingin kau tetap disini. Jangan pergi.

HILANG

Matanya telah berubah menjadi berintik putik air. Air matanya perlahan mulai menetes membasahi pipinya. Bulan menjadi saksi bisu atas perpisahan itu. Seakan tak ada yang dapat mendengar tangisan kerinduan dari lubuk hati yang tersayat pedih. Terpencil dan jauh dari segalanya. Hilang dan sepi terasa sendiri. Chika kembali menatap langit yang bertabur bintang. Mendengar deburan ombak dari pantai yang membentur karang di tepi laut. Merasakan belaian angin yang menari bersama rerumputan pinggir pantai. Sendiri dan kesepian.
Sudah cukup lama Chika tinggal di Yogya. Bersama nenek tercintanya yang telah meninggal sejak satu bulan silam. Kini Chika merasa kesepian, tanpa ada canda dan tawa riang neneknya yang selalu menyemangatinya. Kehidupannya berubah menjadi hampa. Setiap malam Ia pergi ke pantai untuk menangis, berdoa dan memohon agar Ia tetap mampu berdiri diantara terpaan ombak. Sembari menaburkan bunga mawar ke laut lepas, dimana adiknya tenggelam dan pergi jauh bersama orang tua dan neneknya ke alam lain. Dimata teman – temannya, Chika adalah gadis yang selalu menyendiri. Tertutup, dan sangat pendiam. Chika tergolong orang yang susah bersosialisasi. Apalagi dengan keadaannya kini. Satu – satunya teman yang selalu berusaha untuk mengerti perasaan Chika, adalah Dilan. Yang sekaligus menjadi tetangga barunya. Entah mengapa Dilan yang baru pindah dari Sleman merasa antusias untuk menjadi teman Chika.
Lagi – lagi hujan turun menguyur Bantul dan sekitarnya. Seperti biasa, Dilan membuntuti Chika pergi tanpa kepastian. Lusa, Chika melangkah ke Malioboro. Bergabung dengan berbagai keramaian, namun masih terlihat hilang seperti merantau ke negeri asing. Hari ini, Ia pergi ke Stasiun Tugu. Hanya ingin menunggu hujan reda, dan Ia kembali ke rumah. Dalam perjalanan pulang, Dilan sengaja duduk bersebelahan dengan Chika, yang seolah acuh dan selalu memandang ke arah luar jendela bus yang mereka tumpangi.
" Chika, sampai seperti inikah kamu memendam perasaanmu ? " kata Dilan mengawali perbincangan itu.
" Inilah aku. " jawab Chika dengan singkat dan masih menatap sesuatu yang seolah menyita perhatiannya di luar jendela.
" Kamu nggak bisa diem terus. Kamu harus bergerak, karena kehidupan ini akan selalu berjalan dengan seiring waktu yang akan terus berputar." Kata Dilan meyakinkan Chika untuk memperhatikannya. Chika terdiam. Mungkin merenungkan sesuatu. Sampai akhirnya Ia berkata,
" Kamu nggak tau apa yang lagi aku rasain."
" Aku tau kamu lagi kehilangan arti hidup. Makanya akhir – akhir ini kamu sering pergi untuk mencari sebuah arti hidup, sendiri. " kata Dilan.
Percakapan itu terlihat semakin akrab. Memang hanya berawal dari sebuah pertemuan di bus kota yang sederhana, namun semua ini adalah awal dari sebuah makna yang istimewa. Bus melaju mengantarkan mereka ke Bantul. Dilan senang, hari ini Ia bisa berbicara dengan Chika. Hari demi hari berlalu dengan cepat. Telah nampak sebuah perubahan yang terjadi pada Chika. Ia sudah mulai mencoba bersosialisasi dengan teman – teman di kelas. Dilanlah yang kini telah menjadi sahabatnya. Mereka selalu berdua, membicarakan hal yang selalu ada kaitannya dengan kematian. Padahal Dilan adalah orang yang takut membicarakan kematian. Namun demi Chika, Dilan berusaha dengan sepenuh hati untuk mengerti sahabat barunya itu.

Jangan menyesal, karena ini adalah yang terbaik untuk kita. Jangan merasa jadi orang yang terendah. Karena serendah – rendahnya orang masih lebih rendah lagi orang yang suka merendah – rendahkan orang lain…
Rembulan setengah tiang. Malam semakin pasi. Bintang bersembunyi di balik lengan awan. Merangkak berwarna semu. Angin bertiup membawakan aroma duka kematian. Semalam, Mas Dion menghembuskan nafas terakhirnya di RS. Bethesda, Yogya. Penyakit kanker yang ganas telah menggerogoti organ – organ tubuhnya, sehingga Dilan harus rela melepaskan kakak yang selalu membelanya jika sedang dimarahi Ibu. Tiga hari Dilan absen. Menangis di sudut kamarnya sembari memeluk boneka beruang hadiah dari kakaknya dua tahun silam. Merenungkan arti kematian yang akan menjemput semua insan di bumi. " Aku nggak tau apa yang terjadi kalau di rumah nggak ada kakakku. " kata Dilan pada Chika malam itu.
" Aku bisa ngerasain apa yang lagi kamu rasain. Ini emang susah, Tapi kan kata kamu, kehidupan ini akan terus berjalan dengan seiring waktu yang akan terus berputar. Iya kan! " Sahut Chika.
Mata Dilan masih terlihat sembab karena Ia selalu menangis. Seolah rembulanpun tahu semua kesedilah yang dirasakan Dilan malam itu. Sehingga Ia tampak bersembunyi di balik awan hitam, di hati yang sedang gelisah.
Hujan rintik – rintik mengawali hari ini. Seperti biasa, Chika dan Dilan berangkat sekolah bersama. Payung warna – warni mengiringi langkah mereka. Obrolan kecil sesekali menimbulkan tawa riang seolah tak ada beban kesedihan. Hujan mereda, mentari kembali bersinar, tak sengaja Dilan dan Chika melihat pelangi dengan keindahannya yang tak abadi. Pelangi itu indah, tapi hanya sesaat saja. Datang dan perginya tak menentu. Walau buat kita bahagia, kadang tinggalkan luka. Namun kedamaian itu sirna dalam sekejap. Dilan melihat seorang anak kecil yang nyaris tertabrak mobil sebelum akhirnya Ia yang menggantikan anak itu. Segera Ambulance membawa Dilan ke Rumah Sakit. Ia harus rela kehilangan penglihatannya selama beberapa tahun. Ternyata Tuhan memang adil. Dilan masih diberi kesempatan untuk dapat menyaksikan indahnya pelangi bersama sahabatnya sebelum Ia kehilangan sesuatu yang berarti. Suasana hening menyelimuti kamar 103, Chika terlihat sedih menyaksikan Ibu Dilan yang dari satu jam lalu tidak berhenti menangis. Tak lama kemudian, Dilan siuman. Ia hanya melihat hitam tanpa batas dalam hari – harinya. Tak ada yang dapat di salahkan dalam peristiwa ini. Menolong sesama adalah kewajiban.walau nyawa yang jadi taruhan. Dilan tahu Ia telah menjadi pahlawan. Namun Ia belum siap hidup dengan keterbatasan. Terpaksa Dilan menjalani homeschooling. Chika jadi semakin sering memotifasi Dilan untuk selalu bersemangat dalam menjalani hidup.
" Untuk apa aku hidup, kalau aku nggak bisa melihat pelangi bersamamu?." Kata Dilan pada Chika sore itu.
" Justru itu, kamu harus bisa nemuin pelangi di sudut pandangmu yang hanya hitam dan sepi. Ini tantangan. Dan aku yakin kamu pasti bisa. " Kata Chika meyakinkan Dilan untuk sabar.
" Dunia ku terlanjur hilang. Apa lagi yang akan hilang dariku. ? Apakah aku harus kehilangan semua yang aku suka ? " Tanya Dilan sambil menahan air mata.
" Rasa kehilangan itu, hanya aka ada jika kamu pernah memilikinya." Kata Chika sambil memegang tangan sahabatnya itu.
" Aku terlanjur memiliki semuanya. " Ucap Dilan.
" Tapi kamu belum bisa memiliki pendirian kalau hidup ini indah ! Kamu cuma bilang hidup ini indah, kalau kamu bisa menjalaninya dengan sempurna. Harusnya dalam keadaan apapun, kamu tetep bilang hidup ini indah. " Kata Chika dengan nada yang agak tinggi.Dengan semua kemampuannya, Chika berusaha meyakinkan Dilan akan Indahnya hidup. Seperti apa yang semua Dilan lakukan pada Chika dulu.

Rasa kehilangan hanya aka ada jika kau pernah merasa memilikinya…
Petang menjelang, dan cakrawala mulai menebar pesona keemasannya. Di pantai, Chika menulis puisi dengan nuansa jingga yang memayunginya. Tak terasa kini Chika telah beranjak dewasa. Ini adalah tahun kedua dimana Dilan kehilangan penglihatannya. Keadaan menjadi berubah. Chika kini sibuk dengan semua puisi – puisi yang Ia tulis untuk Dilan. Karena Dilan sempat berkata, walaupun Ia kehilangan penglihatannya, setidaknya Dilan tidak kehilangan suara, dan melodi. Malam itu, suara camca* terdengar jelas dari kamar Dilan. Itu berarti Dilan sedang merasa sepi. Ibunya menghampiri, sembari membawa secangkir susu coklat kesukaan Dilan. Suasana menjadi hangat, ketika Ibu Dilan mencoba menghibur hati putrinya itu.
" Bu, apakah aku akan melihat senyummu yang manis itu ? " tanya Dilan pada Ibunya.
" Tentu saja. Minggu depan, kamu akan memulai proses penyembuhan. Jadi jangan khawatir, sebentar lagi anak Ibu yang cantik ini bisa melihat dunia seperti dulu. " Kata Ibu sambil membelai rambut Dilan yang terurai panjang.
Tak terasa hari cepat berganti. Proses penyembuhan Dilan dimulai. Setiap lima hari sekali, Dilan harus control ke rumah sakit. Sedikit demi sedikit, tawa riang Dilan mulai terdengar seperti sedia kala. Rona gembira telah terpancar dari wajah Dilan. Tak lama lagi, Dilan dapat melihat.
" Bahagianya aku. Nggak lama lagi aku bisa melihat warna dunia yang sempat pudar dari ingatanku. " Kata Dilan pada Chika pagi itu.
" Ya, inilah yang akan kamu rasakan kalau kamu sabar." Kata Chika.
" Ini juga berkat kamu lho, Ka. Kan selama ini kamu yang udah motifasi aku, mbacain puisi yang paling bagus buat aku , dan selalu nemenin aku kalau aku lagi sendiri. " kata Dilan.
" Kamu juga berarti banget buat aku. Aku bisa jadi kayak aku yang sekarang ini kan berkat kamu. Sampai dulu kamu rela ngikutin aku sampai Malioboro, Stasiun Tugu. Ha..ha." Kata Chika sambil mengingat masa bahagianya bersama Dilan saat mereka masih berusia 13 tahun itu.
Waktu terasa semakin berlalu. Tinggalkan cerita tentang indahnya masa kecil. Dilan akhirnya dapat kembali melihat keindahan dari dunianya. Walau belum normal. Ia sudah merasa kangen dengan warna kota Yogya yang khas. Warna kota yang belum pernah berubah dari tahun ke tahun. Sungguh sulit diungkapkan dengan kata – kata. Keindahan yang tidak akan pernah dimiliki kota – kota lain. Tawa mereka melukiskan sebuah masa yang menyenangkan. Penuh dengan semua emosi yang lugu, perjalanan hidup yang nyata, dan kebersamaan yang abadi.
Akhir Desember, Dilan dapat melihat dengan sempurna. Menyaksikan kembang api yang indah di malam tahun baru bersama Chika, sahabat yang sangat Ia sayangi. Alunan musik yang asyik ikut menyatu bersama mereka dan meramaikan malam itu. Terasa nyaman kebersamaan itu.
" Malam ini sempurna. " kata Dilan sambil mengambil secangkir soft drink di atas meja.
" Iya. Akan lebih sempurna lagi jika aku masih bisa kumpul bareng sama keluarga ku." Kata Chika dengan ekspresi yang agak sedih. Kedua sahabat itu berpelukan. Dekap hangat Dilan menenangkan Chika dari kegelisahannya akhir – akhir ini. Entah apa yang terjadi, sehingga Chika terlihat sedikit pendiam dari biasanya.
Ada resah di bening matanya. Pandangannya kosong. Memantulkan sebuah cahaya jiwa. Melarikan sejumput perbincangan hati. Menembus hujan, tertuju pada pantai Parangtritis. Chika duduk termenung melamunkan sesuatu yang menyita waktunya untuk menulis puisi sore itu. Ia memandangi laut lepas yang kebetulan sepi, tak ada kapal – kapal yang berlayar atau berlabuh. Rintik – rintik hujan mulai membasahi buku bersampul coklat milik Chika. Tulisannya pudar, sedikit. Namun masih bisa terbaca. Chika merobeknya perlahan dan Ia selipkan di sebuah amplop kecil. Segera berlari pulang karena hujan sudah semakin deras. Malam harinya, Ia pergi ke rumah Dilan. Menitipkan secarik surat untuk Dilan dan kembali ke rumah. Ibu Dilan langsung memberikannya pada Dilan.
"Rasanya aneh kalau Chika nggak langsung ngasih surat ini untuk aku. " gumam Dilan dalam hati, sembari membukanya.
Dear Dilan…
Goresan penamu telah mewarnai hari – hariku yang putih. Mengubahnya menjadi nyata. Terima kasih atas apa yang telah kau berikan untukku. Mengubahku menjadi aku yang seperti ini. Aku tau kau telah memilikiku. Tapi maaf aku harus pergi. Bukan meninggalkanmu, tapi hanya melepaskanmu. Pasti suatu saat kita akan bertemu lagi. Jika kau yakin akanku, maka semua ini akan berjalan seperti apa yang kau inginkan…..

*camca : Sendok kecil.
***
Tetes air mata membasahi surat itu. Dilan segera berlari menyusul Chika yang pergi entah kemana. Hujan dimalam itu tak Ia hiraukan. Satu hal yang saat itu Dilan pikirkan adalah Chika. Dilan pergi ke pantai, namun Ia hanya melihat pasir dan hujan yang seakan merasakan rasa kehilangan yang sama dengan Dilan. Dilan pergi ke Malioboro dengan menumpang sebuah kendaraan yang lewat saat itu. Akhirnya Dilan menemukan Chika diantara keramaian Malioboro yang jauhnya ber mil – mil dari rumah Dilan. Saat itu Chika sedang menulis sesuatu ketika Ia melihat Dilan…
' BRAK ! '
Seketika sunyi. Darah mengalir terbawa arus air hujan. Khalayak ramai menghampiri tubuh yang sudah tak berdaya. Teriakan kecil terdengar memanggil nama Chika. Dilan memeluk erat sahabatnya itu. Mungkin ini pertemuan terakhir antara mereka. Seakan tak mampu melepasnya walau sudah tak ada. Hati ini tetap merasa masih memilikinya. Karena rasa kehilangan hanya akan ada, jika kau pernah merasa memilikinya. Haru menyelimuti sudut pandang Dilan. Ia merasa bersalah jika Chika harus pergi meninggalkannya. Chika segera dilarikan ke rumah sakit terdekat. Ini tak akan terjadi bila Dilan hati – hati. Chika sempat memberikan sesuatu pada Dilan sebelum akhirnya tubuh mungil Chika harus tertutup kain putih yang suci. Kecelakaan itu memang salah Dilan. Dan Chika menjadi penyelamatnya untuk yang terakhir kali., Isak tangis kehilangan terdengar jelas, itu suara Dilan. Ia belum bisa memaafkan dirinya sendiri yang mencelakakan sahabatnya itu. Dilan ingat Chika memberinya selembar kertas tadi. Lalu Ia membacanya.

Untuk sahabatku, Dilan...
Aku tak tau tulisan ini bisa sampai di dekapmu atau tidak. Aku juga tak tau aku harus pergi kemana, dan, harus menulis apa untuk mu. Yang aku tau, aku sangat merasa kehilangan dirimu. Aku harap kita kelak dapat bejumpa lagi. Entah di alam yang sama atau di alam yang berbeda. Walau aku pernah kehilangan orang – orang yang aku sayangi, baru kali ini merasa memiliki, namun sebenarnya aku kehilangan. Aku menyebutnya memiliki kehilangan.walaupun ini nggak masuk akal aku tahu kamu pasti bisa ngerti apa yang aku rasain saat ini .Apakah …

Pesan itu tampak belum selesai. Mungkin tulisan Chika di Malioboro, sesaat sebelum Ia meninggalkan Dilan. Perpisahan ini lebih menyedihkan dari apa yang seharusnya aku coba untuk lafalkan.
Dilan masih tetap mencari kelanjutan pesan terakhir Chika. Yang jelas – jelas tidak akan pernah ditemukan. Sama halnya dengan Chika, Dilan juga baru pertama kali ini merasa memiliki kehilangan. Namun setidaknya Dilan berhasil menemukan arti sahabat….
***




Sahabat adalah orang yang selalu rela berkorban untuk kita
Sahabat adalah orang yang selalu menemani kita saat kita merasa sendiri dan sepi.
Sahabat adalah orang yang selalu memberikan yang terbaik untuk kita
Sahabat adalah orang yang selalu mengingatkan kita saat kita melakukan kesalahan
Sahabat adalah orang yang selalu ada untuk kita…